The Shattered Light-Chapter 56: – Pengorbanan Terakhir
Chapter 56 - – Pengorbanan Terakhir
Suara hujan yang menghantam dedaunan seperti simfoni alam yang kelam. Malam di hutan itu lebih sunyi dari biasanya, seolah menahan napas sebelum badai benar-benar datang. Serina Blackthorn menarik napas dalam-dalam, matanya tak lepas dari Kaelen yang berdiri beberapa langkah di depannya, busur di tangannya tetap terangkat, siap memanah kapan saja.
"Kita harus pergi sekarang, sebelum mereka menemukan kita," desis Serina, suaranya lebih tajam dari biasanya. Rahangnya mengeras, matanya berkilat dengan ketegangan, sementara jemarinya mencengkeram erat tali busur. Napasnya cepat, hampir tersengal, seolah menahan ketakutan yang berusaha menerobos keluar. Ia melirik ke arah hutan yang gelap, matanya menyapu bayangan di antara pepohonan, setiap gerakan sekecil apa pun membuat tubuhnya menegang.
Kaelen menoleh, matanya yang biasanya penuh dengan kemarahan kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam—keraguan. Ia tahu, setiap langkah yang mereka ambil ke depan semakin memperdekat mereka pada bahaya yang tidak bisa dihindari.
"Tidak," Kaelen menjawab lirih. "Kita tidak bisa terus lari."
Serina mengerutkan kening, mendekatkan diri ke arahnya. "Kaelen, kita sedang dikejar. Pasukan Eryon ada di belakang kita. Jika kita berhenti sekarang, mereka akan menang."
Kaelen menggeleng, melempar pandangan sekilas ke arah Lyra, yang tengah merawat luka di lengannya. Tatapan mereka bertemu sejenak, cukup lama untuk Serina menyadari sesuatu—Kaelen tidak hanya berjuang untuk dendamnya, tetapi juga untuk seseorang.
"Aku bisa merasakan mereka," kata Kaelen. "Mereka sudah dekat."
Dari balik pepohonan, terdengar suara langkah berat. Serina langsung bersiaga, memasang anak panah di busurnya. Begitu pula Lyra dan para prajurit yang tersisa. Dalam sekejap, bayangan hitam muncul dari kabut malam—pasukan Cahaya, dengan jubah emas mereka yang berkilat meski dalam kegelapan. Dan di antara mereka, berdiri Eryon Solveil, wajahnya dipenuhi percaya diri yang sombong.
"Akhirnya," Eryon berujar, suaranya mengalun dengan nada kemenangan. "Aku sudah menunggu terlalu lama untuk saat ini, Kaelen."
Kaelen tidak menjawab. Ia hanya mengangkat pedangnya, matanya penuh kebencian yang ditahan.
Eryon tersenyum tipis. "Serahkan diri, dan aku mungkin akan mempertimbangkan untuk membiarkan mereka hidup." Ia melirik ke arah Lyra dan Serina. "Meskipun aku lebih suka tidak ada saksi."
Serina meludah ke tanah. "Simpan bualanmu, Eryon."
Eryon terkekeh. "Baiklah, jika itu maumu." Dengan satu gerakan tangannya, pasukan Cahaya menyerbu seperti ombak yang menerjang karang. Derap langkah mereka menggema di tanah yang basah, pedang mereka berkilat saat terangkat di bawah sinar bulan yang terhalang awan. Beberapa prajurit melesat cepat, menebas ranting dan dedaunan di sepanjang jalan, sementara yang lain mengangkat perisai mereka, membentuk formasi yang dirancang untuk mengepung. Panah pertama melesat dari barisan belakang, menghujam udara dengan kecepatan mematikan, memaksa Kaelen dan yang lainnya bergerak cepat mencari perlindungan. Serina menarik tali busurnya, matanya mengawasi setiap celah yang bisa dimanfaatkan untuk menyerang balik.
Pertempuran pecah dalam sekejap. Pedang beradu dengan dentingan tajam, panah melesat menembus udara, dan teriakan nyaring menggema di tengah hujan. Kaelen bertarung dengan liar, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan yang hanya bisa datang dari dendam yang telah mendidih selama bertahun-tahun.
Serina berada di sisinya, melepaskan anak panah dengan ketepatan seorang pemanah yang telah lama berdamai dengan kematian. Setiap tembakannya mengenai sasaran, menembus armor musuh di titik-titik lemah, membuat mereka tumbang satu per satu.
Namun, meski mereka bertarung sebaik mungkin, jumlah musuh terlalu banyak. Kaelen mencoba mengarahkan pertempuran ke medan yang lebih sempit, memanfaatkan pohon-pohon besar untuk menghambat pergerakan lawan. Serina memberikan aba-aba kepada para pejuang agar membentuk formasi bertahan, memanfaatkan celah antara bebatuan untuk berlindung dari panah musuh. Lyra, meski terluka, menggunakan kecepatan dan kelincahannya untuk menyerang titik lemah di armor pasukan Cahaya. Namun, meski strategi mereka cukup efektif untuk memperlambat musuh, gelombang serangan tak kunjung berhenti, membuat mereka semakin terdesak.
Serina melihat sudut matanya—Lyra terkepung oleh tiga prajurit Cahaya, pedangnya hampir terlepas dari genggaman. Tanpa berpikir, Serina menerjang, melepaskan anak panah cepat yang menembus tenggorokan salah satu prajurit, lalu menarik belati sebagai senjata terakhirnya.
"Pergi dari sini!" Serina berteriak, matanya membelalak marah.
"Tapi—"
"Sekarang, Lyra!"
Kaelen menoleh saat mendengar suara itu, tepat pada saat Serina mengangkat busurnya untuk serangan terakhir. Namun, Eryon lebih cepat. Dengan satu gerakan licik, ia menusukkan pedangnya ke perut Serina.
Waktu seakan melambat.
Serina terhuyung, darah hangat mengalir dari luka di tubuhnya. Namun, alih-alih mundur, ia justru meraih lengan Eryon, menahannya di tempat.
Kaelen berteriak, melangkah maju, tetapi Serina menatapnya dengan ekspresi yang hanya bisa diartikan sebagai perpisahan.
"Gunakan kekuatanmu, Kaelen," bisiknya, darah menetes dari sudut bibirnya.
Kaelen merasakan sesuatu di dalam dirinya meledak. Kegelapan yang selama ini ia takuti, yang selama ini ia kendalikan, menyeruak keluar. Bayangan di sekitar mereka mulai bergerak, melilit prajurit-prajurit Cahaya, menelan mereka ke dalam kehampaan.
Eryon terbelalak saat merasakan bayangan itu merayap ke kulitnya. Ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Serina, tetapi terlambat—kegelapan itu melahapnya.
Namun, di saat yang sama, Kaelen merasakan sesuatu menghilang dari benaknya.
Ia jatuh berlutut, kepalanya terasa kosong. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang penting. Ia memaksa dirinya untuk mengingat, tetapi semakin ia berusaha, semakin ingatan itu kabur.
Ia menatap tubuh Serina yang terbujur di tanah, tetapi meski ia tahu ia harus merasa sesuatu, ia tidak bisa mengingat kenapa.
Lyra berlutut di sampingnya, air mata mengalir di pipinya. "Serina..." suaranya pecah di tengah isakan. "Kaelen, dia... dia mati untuk kita. Untukmu.""
Kaelen mencoba mengingat namanya, tetapi suaranya terasa asing, seperti gema dari masa lalu yang tak bisa dijangkau. Rasa panik mulai menjalar dalam dirinya. Ia tahu ada sesuatu yang penting, sesuatu yang seharusnya ia ingat, tetapi sekeras apa pun ia mencoba, itu semakin menghilang. Rasa panik merayapi pikirannya saat ia mencoba menggali ingatan yang seharusnya ada, tetapi hanya kekosongan yang tersisa.
Pertempuran telah usai. Pasukan Cahaya hancur, banyak yang melarikan diri dalam kegelapan. Sisa-sisa pasukan Kaelen berdiri dalam kelelahan dan kehilangan. Beberapa dari mereka berlutut di tanah, terengah-engah, sementara yang lain melihat ke arah Serina dengan tatapan kosong. Namun, Kaelen tidak merasakan kemenangan.
This content is taken from fгee𝑤ebɳoveɭ.cøm.
Ia telah kehilangan sesuatu yang tak tergantikan. Bukan hanya Serina, tetapi bagian dari dirinya sendiri. Dan yang lebih menakutkan, ia tahu ini bukan yang terakhir.