The Shattered Light-Chapter 55: – Serangan Dalam Gelap

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 55 - – Serangan Dalam Gelap

Kabut tipis masih bergelayut di atas pos, namun ketenangan pagi itu terasa menipu. Kaelen berdiri di depan tenda komandonya, memandang ke arah hutan yang tak pernah benar-benar tidur. Pepohonan tua menjulang dengan cabang-cabang yang tampak seperti tangan kurus meraih ke udara. Angin dingin berdesir melewati dedaunan kering, menciptakan bisikan samar yang terdengar seperti suara makhluk-makhluk yang mengintai. Aroma tanah basah bercampur lumut memenuhi hidungnya, sementara burung hantu melengking dari kejauhan, menambah nuansa suram pagi itu. Udara dingin menyelinap ke dalam pori-pori, menciptakan rasa waspada yang tak kunjung reda di dadanya.

Varrok menghampiri dengan langkah berat. "Malam panjang, Kaelen?"

Kaelen mengangguk. "Bayangan itu... Aku tak bisa mengusirnya dari pikiranku. Aku yakin itu bukan yang terakhir kali kita melihatnya."

New novel 𝓬hapters are published on ƒreewebɳovel.com.

Varrok menepuk bahu Kaelen. "Aku juga berpikir begitu. Prajurit kita gelisah. Mereka butuh kepastian, Kaelen. Mereka butuh tahu bahwa kau percaya kita bisa bertahan."

Kaelen menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu. Aku hanya... lelah."

Serina muncul dari balik tenda dengan wajah cemas. "Kaelen, Lyra ingin bicara denganmu. Penting, katanya."

Kaelen mengangguk dan segera menuju ke sudut pos di mana Lyra sedang berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya serius.

"Ada apa, Lyra?" tanya Kaelen.

Lyra melirik ke sekeliling sebelum berbicara pelan. "Aku menemukan jejak kaki asing di dekat sisi barat pagar. Jejak itu mengarah ke dalam pos kita, tapi tak ada jejak keluar. Seseorang masuk tadi malam... dan dia masih di sini."

Kaelen mengepalkan tangan, rahangnya mengeras dan matanya menyala penuh amarah. "Kita harus temukan dia. Kita tak bisa membiarkan ancaman di dalam pagar. Kumpulkan Varrok, Rhal, dan beberapa orang kepercayaan. Jangan membuat panik yang lain. Kita bergerak diam-diam."

Beberapa menit kemudian, Kaelen, Varrok, Lyra, Rhal, dan Serina berkumpul di dekat tenda komando.

Kaelen berbicara dengan nada rendah namun tegas. "Ada penyusup di antara kita. Kita cari dia, tapi tetap tenang. Jangan buat kekacauan. Varrok, kau awasi gerak-gerik Garel. Aku belum bisa mempercayainya sepenuhnya. Rhal, periksa sekitar tenda penyimpanan. Serina dan Lyra, patroli keliling pos. Aku akan memeriksa sekitar menara pengawas. Jika ada yang mencurigakan, beri tanda. Jangan bertindak sendiri."

Mereka berpencar. Jantung Kaelen berdegup lebih kencang. Setiap langkah di tanah becek terdengar lebih berat dari biasanya. Di dekat menara pengawas, ia menemukan kain robek tersangkut di pagar kayu. Kain itu gelap, dengan bercak darah kering.

"Kaelen!" suara lirih Rhal memanggil.

Kaelen segera berlari menghampirinya. Di belakang tenda penyimpanan, Rhal berdiri di samping tubuh seorang prajurit yang tergeletak dengan leher tersayat.

"Ini Erdan... Prajurit baru yang kau bicarakan dengan Varrok kemarin..." bisik Rhal dengan nada terguncang.

Kaelen merunduk, memeriksa luka di leher Erdan. Begitu rapi, begitu bersih. Bukan tangan sembarangan yang melakukan ini.

Serina dan Lyra muncul dengan wajah khawatir. "Apa yang terjadi?" tanya Serina.

Kaelen berdiri, suaranya dingin. "Penyusup itu... dia sudah mulai membunuh. Kita harus berkumpul. Semua. Sekarang."

Dalam waktu singkat, seluruh pasukan berkumpul di tengah pos. Mata mereka penuh ketakutan dan kebingungan.

Kaelen berdiri di depan mereka, berusaha terlihat kuat meski jiwanya dihantui rasa bersalah. Wajah Erdan yang tergeletak dengan leher tersayat terus menghantui pikirannya. Ia merasa gagal melindungi prajurit itu, dan ketakutan bahwa yang lain bisa bernasib sama mulai menggerogoti hatinya. Namun, ia tahu, menunjukkan kelemahan di hadapan pasukannya hanya akan memperburuk keadaan. "Erdan ditemukan tewas pagi ini. Seseorang telah menyusup ke dalam pos kita. Dia ada di antara kita. Aku tahu ini sulit, aku tahu kalian takut. Tapi kita tak boleh saling mencurigai. Kita harus tetap bersatu. Jika kita tercerai-berai, mereka menang. Kita akan memperketat penjagaan. Tidak ada yang keluar sendirian. Semua bergerak dalam kelompok."

Balrik mengangkat tangan. "Tapi bagaimana jika penyusup itu benar-benar ada di sini? Bagaimana kita tahu siapa yang bisa dipercaya?"

Kaelen menatap Balrik tajam. "Kepercayaan adalah satu-satunya senjata yang tersisa bagi kita sekarang. Jika kita kehilangan itu, kita sudah kalah sebelum pedang kita terhunus."

Suasana semakin tegang. Varrok mendekati Kaelen setelah pertemuan bubar.

"Aku mengamati Garel. Dia gelisah, tapi bukan karena takut. Dia seperti... menunggu sesuatu," bisik Varrok.

Kaelen menatap hutan di luar pagar pos. Bayangan hitam semalam seolah masih ada di sana, mengintip di antara pepohonan.

"Kita awasi dia terus. Jika dia membuat satu kesalahan saja, kita tangkap," ujar Kaelen tegas.

Malam kembali menyelimuti pos. Kabut semakin tebal. Kaelen berjaga bersama Serina kali ini. Mereka berdiri berdampingan di menara, mata mengamati kegelapan.

"Kau percaya kita bisa keluar dari semua ini?" tanya Serina pelan.

Kaelen diam sejenak. "Aku harus percaya. Jika tidak, aku sudah menyerah sejak lama."

Serina meremas tangan Kaelen pelan, jari-jarinya bergetar sedikit, seolah takut kehilangan genggaman itu. Sejenak, mereka terdiam. Hanya suara angin yang berdesir di antara mereka. Kaelen merasakan ketulusan di genggaman itu, dan untuk sesaat, beban di hatinya terasa lebih ringan. "Aku percaya padamu. Apa pun yang terjadi, aku akan di sini bersamamu."

Kaelen menoleh, menatap Serina. Ada kehangatan di sana, meski dikepung dingin dan kegelapan.

Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar dari arah timur. Kaelen dan Serina menegakkan tubuh. Mata Kaelen menyipit, mencoba menembus kabut.

Bayangan itu muncul lagi. Kali ini lebih dekat. Sosoknya bergerak perlahan di balik pepohonan, seperti sengaja memperlihatkan dirinya tanpa rasa takut. Dahan kering yang diinjaknya patah, menciptakan bunyi gemeretak tajam yang menggema di tengah keheningan. Daun-daun semak bergetar pelan, seakan menyaksikan langkah sosok itu yang semakin mendekat, dan samar-samar terdengar napas berat dari arah bayangan tersebut. Mata merah itu menatap langsung ke arah mereka.

Kaelen mencengkeram gagang pedangnya. "Dia kembali. Kali ini... dia tak hanya mengawasi."

Serina mengangguk. "Mungkin ini malam yang mereka tunggu."

Kaelen mengangguk pelan. "Kalau begitu... kita juga harus siap. Apa pun yang datang, kita hadapi bersama."

Malam itu menjadi awal ketegangan baru. Setiap langkah, setiap nafas, setiap gerakan menjadi pertaruhan antara hidup dan mati. Dan di dalam hati Kaelen, ia tahu—permainan kegelapan baru saja dimulai.