The Shattered Light-Chapter 4: – Jejak Darah Pertama

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 4 - – Jejak Darah Pertama

Dua bulan setelah Kaelen bersumpah di tebing itu, Varrok mulai mengajaknya turun gunung, mendekati desa-desa kecil di perbatasan yang dikuasai Ordo Cahaya. Bukan untuk menyerang, melainkan mengamati. Varrok menanamkan satu prinsip penting: mengenali musuh sebelum mengayunkan pedang.

Suatu sore, mereka tiba di desa Luthar, tempat yang baru saja dijarah oleh pasukan Cahaya. Rumah-rumah gosong, aroma kematian masih pekat, bercampur dengan bau daging yang hangus. Angin sore membawa bisikan lirih seperti tangisan samar, dan tiap langkah di atas abu memunculkan suara renyah yang menyerupai tulang rapuh. Kaelen menahan napas, kenangan desanya sendiri merayap di benaknya. Namun, Varrok menepuk bahunya pelan.

"Jangan biarkan amarah menguasaimu. Lihat. Dengarkan. Rasakan."

Kaelen berjalan di antara puing-puing, memperhatikan wajah-wajah yang selamat. Tatapan kosong, tangis lirih anak-anak, tubuh-tubuh terbungkus kain lusuh. Amarahnya mendidih, tetapi ia menelannya.

Di sudut desa, Kaelen melihat seorang prajurit Cahaya yang tertinggal—terluka, tergeletak di dekat sumur dengan tombak menancap di pahanya. Pemuda itu memohon belas kasihan. Mata Kaelen menyala. Tangan kanannya meraba gagang pedang, siap menebas. Namun, Varrok muncul.

"Kaelen," suaranya tegas. "Tidak hari ini. Kita belum siap. Membunuh tanpa tujuan hanya akan membakar kita lebih cepat."

Kaelen mengepalkan tangan, tetapi ia mundur, meski seluruh tubuhnya menjerit untuk menyerang. Napasnya memburu, matanya panas oleh amarah dan air mata yang tertahan. Kekecewaan menusuk dadanya—ia merasa lemah, seolah mengkhianati keluarganya yang telah mati. Namun, di balik frustrasi itu, ada rasa takut. Takut pada konsekuensi pertama kali ia mencabut nyawa. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kekuatan menahan diri lebih berat daripada mengayunkan pedang.

Visit freёnovelkiss.com for the 𝑏est n𝘰vel reading experience.

Saat mereka kembali ke hutan, Varrok berbicara, suaranya pelan namun tegas. "Ada saatnya kau mengayunkan pedang. Dan ada saatnya kau menyarungkannya. Satu tebasan yang tepat lebih berarti daripada seratus yang sia-sia. Aku pernah melihat seorang sahabat, seorang pejuang yang hebat, terbunuh karena terburu-buru dalam amarahnya. Dia menyerang tanpa rencana, dan hanya butuh satu kesalahan untuk membuat nyawanya melayang. Jangan ulangi kesalahan itu, Kaelen."

Kaelen terdiam. Ia mengerti. Perjuangannya bukan sekadar membantai. Ini adalah permainan kesabaran—perang yang akan menghabiskan waktu, darah, dan mungkin, jiwanya sendiri.