The Shattered Light-Chapter 18: – Bayangan dalam Keheningan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 18 - – Bayangan dalam Keheningan

Malam itu dingin menusuk tulang. Setelah percakapan hangat di tepi api unggun, kelompok Kaelen mencoba terlelap. Namun, Kaelen sendiri hanya mampu memejamkan mata sejenak. Pikirannya penuh oleh wajah Lyra, tatapan Serina, dan bisikan gelap yang kian hari kian menguat. Ia mulai khawatir, apakah kekuatan itu perlahan merenggut akal sehatnya.

Ia terbangun saat mendengar langkah ringan. Instingnya segera menyala. Tangan Kaelen merayap ke pisau di pinggangnya. Namun, sosok yang muncul dari kegelapan hanyalah Varrok.

"Kau tidak tidur?" bisik Varrok seraya duduk di sampingnya.

Kaelen menggeleng. "Aku... merasa sulit tidur akhir-akhir ini."

Varrok menatapnya lama. "Aku tahu beban di pundakmu berat. Aku pernah muda sepertimu, Kaelen. Amarah itu... keinginan membalas dendam... itu bisa membunuhmu lebih cepat daripada musuhmu sendiri."

Kaelen terdiam. Ia mengerti maksud Varrok, tetapi menahan bara dendam itu semakin sulit. Ia merasakan energi dingin bergetar di dadanya, seolah kekuatan gelap itu menertawakan kelemahannya.

"Besok kita memasuki wilayah lebih berbahaya. Kau harus kuat. Untuk mereka, dan untuk dirimu sendiri," lanjut Varrok.

Kaelen mengangguk. Ia menghormati lelaki itu lebih dari siapa pun, bahkan melihatnya sebagai sosok ayah yang hilang.

Saat fajar menyingsing, mereka melanjutkan perjalanan ke barat laut. Udara semakin menusuk, dan hutan semakin pekat. Akar-akar mencuat seperti tangan yang hendak mencengkeram. Kabut tipis melayang, mengaburkan pandangan. Suara burung hantu terdengar samar, mengiringi langkah mereka.

Lyra berjalan di samping Serina. Percakapan mereka minim. Keduanya masih terjebak dalam pusaran perasaan yang belum terselesaikan. Sesekali Kaelen mencuri pandang ke arah mereka, merasa terjepit di antara dua hati yang perlahan mengisi kekosongan hidupnya. Ia takut, suatu saat, pilihan yang harus ia buat bisa merusak semua yang sedang mereka bangun.

This chapt𝓮r is updat𝒆d by ƒreeωebnovel.ƈom.

Di tengah perjalanan, Varrok berhenti tiba-tiba dan mengangkat tangannya. Semua langsung merunduk. Di kejauhan, samar-samar terdengar suara langkah kaki banyak orang. Detak jantung Kaelen meningkat, naluri bertarungnya seketika menyala.

"Patroli lagi?" bisik Darek.

Varrok mengamati jejak di tanah yang masih basah. "Tidak... ini bukan patroli biasa. Ini... perburuan."

Kaelen merasakan bulu kuduknya meremang. Serina menyiapkan busurnya, sementara Lyra menggenggam belati kecil. Tangan Kaelen secara refleks meraba gagang pisau di pinggangnya, tetapi ia juga merasakan dorongan kekuatan itu semakin kencang, seolah berbisik agar dilepaskan.

Mereka bersembunyi di balik semak lebat, menahan napas. Beberapa menit kemudian, sekelompok prajurit Ordo Cahaya melintas. Namun, yang membuat mereka bergidik adalah sosok di tengah kelompok itu—seorang pria berbaju zirah hitam dengan lambang cahaya merah di dadanya. Tatapan matanya tajam, dan aura di sekelilingnya begitu menekan. Langkahnya tenang, penuh percaya diri, seperti pemburu yang tahu buruannya tak mungkin lolos.

Kaelen belum mengenalnya, namun perasaannya mengatakan pria itu berbeda. Ada sesuatu yang membuat Kaelen tidak nyaman—seolah kekuatan dalam dirinya merespons kehadiran orang itu.

"Siapa dia?" bisik Lyra nyaris tak terdengar.

Varrok menjawab pelan, "Aku belum pernah melihatnya. Tapi dia bukan prajurit biasa."

Kaelen mencatat sosok itu di pikirannya, tapi tanpa menaruh curiga berlebihan. Baginya, ini hanyalah musuh baru yang suatu hari nanti pasti akan mereka hadapi. Ia tak tahu, pertemuan sejati mereka masih akan datang.

Setelah pasukan itu menjauh, mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Kaelen merasa kekuatan gelap dalam dirinya berdenyut lagi, bereaksi terhadap kehadiran pria tadi. Ia mulai bertanya-tanya, apakah kekuatan ini sekadar alat atau kutukan yang perlahan menelannya hidup-hidup.

Saat sore menjelang, mereka tiba di sebuah gua kecil di lereng bukit. Varrok memutuskan untuk bermalam di sana. Gua itu sempit, tetapi cukup untuk berlindung. Suhu udara turun, dan rasa lelah mulai menekan tubuh mereka.

Saat malam tiba, Kaelen duduk di mulut gua, menatap bintang-bintang samar yang tertutup kabut tipis. Lyra menghampirinya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.

Kaelen tersenyum tipis. "Aku hanya... merasa semuanya makin berat. Kadang aku takut aku tidak bisa melindungi kalian."

Lyra meletakkan tangannya di pundaknya. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, Kaelen. Kami di sini... karena kau."

Kaelen menoleh, menatap mata Lyra yang hangat. Hatinya bergetar. Di balik kekerasan dunia yang ia jalani, ada kelembutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya. Namun, di sudut gua, Serina melihat mereka dalam diam. Lagi-lagi, nyeri itu menghunjam dadanya. Ia menunduk, mengeratkan genggamannya pada busur, merasa asing dengan perasaan lemah yang kian hari semakin tumbuh.

Di dalam kegelapan, Kaelen tahu, bukan hanya musuh di luar sana yang harus ia hadapi. Ada perasaan yang berkelindan, membentuk bara yang bisa menjadi cahaya... atau api yang membakar segalanya. Dan di dadanya, kekuatan gelap itu berbisik lagi, seolah mengingatkan bahwa harga perlindungan dan cinta bisa jadi lebih mahal dari yang pernah ia bayangkan.