The Shattered Light-Chapter 32: – Cahaya di Balik Duri

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 32 - – Cahaya di Balik Duri

Kelompok Kaelen melanjutkan perjalanan menyusuri jalur sempit di tengah hutan yang semakin gelap. Udara malam mulai menggigit, sementara suara burung hantu menggema, menciptakan irama kesunyian yang mencengkram. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, mempertebal rasa waspada yang telah melekat di tubuh mereka sejak pertemuan terakhir dengan prajurit Ordo Cahaya.

Kaelen berjalan di depan bersama Varrok, sesekali bertukar pandang dengan pemimpin mereka itu. Tidak ada kata-kata yang keluar, tetapi beban yang sama terpancar di antara mereka. Darek dan Aria mengikuti di belakang, sedangkan Lyra dan Serina menjaga posisi tengah, di dekat Kaelen. Meski telah berjanji saling percaya, keheningan mereka berbicara sebaliknya—masing-masing masih membawa keraguan dan ketakutan.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, mereka tiba di sebuah celah bebatuan yang mengarah ke lembah tersembunyi. Varrok memberi isyarat berhenti. Ia meneliti sekeliling dengan tatapan tajam.

"Kita istirahat di sini," katanya lirih. "Tapi tetap waspada."

Mereka berjongkok di balik semak lebat. Kaelen duduk di atas akar besar, punggungnya bersandar pada batang pohon tua. Pandangannya terlempar ke langit yang mulai dipenuhi bintang-bintang pucat. Udara dingin malam itu membuat napas mereka terlihat seperti asap tipis.

Lyra duduk di sebelahnya, memeluk lututnya. "Apa kau merasakan sesuatu... seperti dia mengawasi?" bisiknya.

Kaelen tahu siapa yang dimaksud—Eryon. Sosok itu telah meninggalkan jejak ketakutan yang sulit dihapus. "Ya," jawab Kaelen pelan. "Aku rasa dia selalu mengawasi."

Serina duduk agak jauh, diam-diam memperhatikan Kaelen dan Lyra. Hatinya terasa perih melihat kedekatan mereka. Kenangan masa kecil di desa kembali muncul di benaknya—saat Kaelen membantunya mencari kalung milik ibunya yang hilang di ladang gandum. Kala itu, Kaelen berlari ke sana kemari di antara batang-batang gandum yang tinggi hingga akhirnya menemukan kalung itu. Ia menyerahkannya sambil tersenyum lebar, seolah kemenangan kecil itu adalah segalanya. Serina merasa aman di dekatnya, seakan Kaelen akan selalu ada untuk melindunginya. Namun, kini semuanya terasa berbeda. Sosok Kaelen yang dulu menjadi sandarannya perlahan menjauh, dan Lyra terlihat mulai mengisi ruang yang dulu hanya dimilikinya. Serina berusaha mengusir rasa itu, tetapi cemburu terus menggerogoti hatinya seperti duri yang menusuk perlahan.

This content is taken from freeweɓnovel.cѳm.

"Kita harus bicara soal apa yang akan kita lakukan selanjutnya," Varrok memecah keheningan.

Darek mengangguk. "Serangan terhadap pos sudah membuat kita menjadi target utama. Mereka pasti akan menggandakan penjagaan di setiap titik."

"Kita butuh sekutu," kata Aria tiba-tiba. "Bayangan Malam memang mulai bangkit, tetapi kita hanya sekelompok kecil. Jika ingin menggulingkan Ordo Cahaya, kita tak bisa berjuang sendirian."

Kaelen merenung sejenak. Kata-kata Aria ada benarnya. Namun, mencari sekutu di tengah tekanan seperti ini bukan hal mudah. "Aku setuju... Tapi, siapa yang bisa kita percaya?"

Varrok menghela napas. "Ada beberapa kelompok pejuang di wilayah barat. Mereka menolak tunduk pada Ordo Cahaya. Aku pernah bertemu salah satu pemimpin mereka—Balrik. Orangnya keras, tetapi setia pada kebebasan. Jika kita bisa mencapai mereka, mungkin kita bisa membentuk aliansi."

Serina tampak berpikir. "Perjalanan ke barat melewati lembah Curam. Itu wilayah berbahaya, banyak mata-mata Ordo berkeliaran di sana."

Kaelen menatap satu per satu wajah rekannya. Ia melihat keteguhan di mata mereka, meski kelelahan tak bisa disembunyikan. "Kita tak punya pilihan lain. Jika kita terus bergerak tanpa dukungan, kita hanya akan menjadi buruan sampai satu per satu dari kita mati."

Lyra menatap Kaelen penuh kekhawatiran. "Kaelen... aku tahu kau kuat, tapi... aku takut kehilanganmu."

Kaelen menatapnya dalam-dalam. Ada kehangatan di balik sorot matanya, tetapi juga luka yang tersembunyi. "Aku juga takut kehilangan kalian. Itu sebabnya kita harus tetap bersama. Dan aku... aku akan melawan kekuatan ini. Aku tidak akan membiarkannya mengambil lebih banyak dari yang sudah diambil."

Serina menunduk, hatinya semakin berat. Kata-kata Kaelen menegaskan posisinya, tetapi di saat yang sama membuatnya sadar bahwa perasaannya mungkin hanya akan menjadi beban.

Varrok berdiri. "Baik. Kita bergerak saat fajar. Bersiaplah."

Mereka berdiam diri beberapa saat, menikmati kehangatan kebersamaan yang perlahan mulai kembali, meski retakan masih ada.

Kaelen menatap api kecil yang mereka nyalakan, namun pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Bayangan kekuatan gelap yang mengalir dalam dirinya terus menghantui. Setiap percikan api mengingatkannya pada kobaran amarah saat ia kehilangan kendali. Ia bertanya-tanya, berapa lama lagi ia bisa melawan bisikan itu? Sampai kapan ia bisa menjaga jiwanya tetap utuh sebelum kegelapan sepenuhnya menelannya? Ia takut—takut bahwa suatu hari ia akan bangun dan tidak lagi mengenali siapa dirinya, atau lebih buruk lagi, mendapati orang-orang yang ia cintai telah menjadi korban dari tangannya sendiri. Ia sadar, perjalanan ke barat bukan hanya untuk mencari sekutu. Itu adalah perjalanan untuk menemukan jawaban—tentang kekuatan gelap di dalam dirinya, tentang apa yang bisa ia lakukan untuk melindungi mereka, dan tentang seberapa besar ia harus rela mengorbankan dirinya sendiri sebelum semua ini berakhir.

Di kejauhan, di atas puncak tebing yang diterpa angin dingin, sepasang mata mengintai dari kegelapan. Eryon berdiri tegak, mantel hitam panjangnya berkibar tertiup angin malam. Pandangannya tajam, menembus kegelapan seperti pemangsa yang tengah mengamati mangsanya. Dalam benaknya, ia menimbang-nimbang langkah selanjutnya—membiarkan mereka tumbuh kuat dalam keputusasaan, atau menghancurkan mereka saat hati mereka masih rapuh. Bibirnya menyeringai samar, menikmati kenyataan bahwa perlahan, Kaelen akan jatuh lebih dalam ke dalam cengkeraman kegelapan. Eryon berdiri diam, seperti bayangan yang menyatu dengan malam. Ia tersenyum tipis, mengetahui bahwa permainan ini baru saja dimulai.