The Shattered Light-Chapter 29: – Nyala Api dalam Kegelapan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 29 - – Nyala Api dalam Kegelapan

Setelah kepergian Eryon, suasana di antara kelompok Kaelen dipenuhi ketegangan yang menyesakkan. Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, namun setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Nama Eryon kini menggantung di benak mereka, mengukuhkan bahwa musuh yang mereka hadapi jauh lebih kuat dan berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan.

Malam itu, mereka mendirikan perkemahan di antara rerimbunan pohon tua. Nyala api kecil menjadi satu-satunya penerang di tengah kegelapan. Suara binatang malam bersahutan di kejauhan, menambah kesan suram. Udara dingin menyusup ke dalam pori-pori, membuat tubuh mereka menggigil, bukan hanya karena suhu, tetapi juga rasa takut yang belum reda.

Varrok duduk bersandar pada batang pohon, matanya mengamati api yang bergetar diterpa angin. "Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang," ucapnya lirih. "Eryon bukan lawan sembarangan. Jika dia sudah mulai menunjukkan dirinya, itu berarti kita telah dianggap ancaman nyata."

Kaelen menatap bara api, pikirannya berkecamuk. Ia tahu benar apa yang dimaksud Varrok. Pertemuan singkat tadi sudah cukup membuatnya merasakan tekanan dari sosok yang begitu kuat dan berwibawa. Namun, lebih dari itu, kata-kata Eryon terus terngiang di kepalanya—tentang seberapa jauh ia bersedia mengorbankan jiwanya. Rasa takut kehilangan dirinya sendiri semakin nyata.

Serina duduk tak jauh darinya. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tetapi matanya tak bisa lepas dari Kaelen. Ia bisa melihat perubahan yang perlahan menggerogoti pria itu. Kekhawatirannya makin dalam, bercampur dengan rasa takut akan kehilangan sosok yang diam-diam telah ia cintai. Kenangan tentang masa kecil mereka di desa sebelum kehancuran itu terlintas di benaknya. Saat itu, Kaelen selalu menjadi sosok pelindung, namun sekarang, ia tampak rapuh meski berusaha menyembunyikannya.

Lyra duduk di sebelah Kaelen, mencoba menawarkan kenyamanan meskipun dirinya sendiri diliputi rasa cemas. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan, suaranya lembut namun gemetar.

Kaelen tersenyum samar, meski lelah jelas terpancar dari wajahnya. "Aku baik... setidaknya untuk saat ini."

Namun, dalam hatinya, ia merasa jauh dari kata baik. Setiap penggunaan kekuatannya semakin mendekatkannya pada jurang kehampaan. Suara ibunya yang samar kini terasa seperti angin yang kian menjauh. Ia takut, suatu hari ia akan bangun tanpa mengenal siapa pun di sekitarnya. Ia bahkan mencoba mengingat lagu pengantar tidur yang biasa dinyanyikan ibunya, tetapi hanya potongan nada tanpa arti yang muncul di kepalanya. Itu membuat dadanya semakin sesak.

"Kita harus punya rencana," kata Darek, memecah keheningan. "Serangan ke pos telah memberi peringatan kepada mereka. Kita tidak bisa terus bergerak tanpa arah."

Varrok mengangguk. "Tujuan kita jelas. Kita harus melemahkan Ordo Cahaya satu per satu. Tetapi kita tidak bisa menghadapi Eryon dengan kekuatan kita sekarang."

Kaelen mengepalkan tangannya, kukunya menekan telapak hingga hampir berdarah. "Berarti kita harus menjadi lebih kuat. Kita tidak bisa hanya berlari. Jika kita ingin menang, kita harus siap mempertaruhkan segalanya."

Suasana sejenak menjadi hening. Kata-kata Kaelen membawa beban yang lebih dalam daripada sekadar keberanian. Serina mengerti, Lyra juga. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan Kaelen setiap kali ia menggunakan kekuatannya. Serina menundukkan kepala, menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. Lyra menggenggam tangan Kaelen sejenak, mencoba menguatkan tanpa kata.

Malam berlalu dengan gelisah. Kaelen duduk berjaga hingga fajar menjelang. Di dalam dirinya, ia terus berperang melawan suara kegelapan yang semakin sering merayunya. Setiap gemerisik dedaunan membuatnya waspada, seakan-akan Eryon bisa muncul kapan saja.

"Kau butuh aku... Kau tidak bisa melawannya tanpaku... Beri aku kendali... dan kau akan menyelamatkan mereka semua..."

Kaelen menutup matanya erat. Ia menolak suara itu, untuk saat ini. Tapi ia tahu, hari itu akan datang—hari ketika ia tak lagi mampu menolak. Bayangan pertempuran besar di masa depan semakin jelas, dan dalam benaknya, ia melihat dirinya berdiri sendirian—tanpa wajah-wajah yang dikenalnya, tanpa suara-suara yang ia cintai. Kosong.

Pagi pun tiba. Mereka bersiap melanjutkan perjalanan. Di dalam hati masing-masing, mereka membawa ketakutan dan harapan yang saling bertarung. Namun satu hal yang pasti—api perlawanan mereka belum padam.

Dan di kejauhan, Eryon mungkin sedang mengawasi, menanti saat di mana Kaelen jatuh ke dalam gelap sepenuhnya. Atau mungkin, ia hanya menunggu Kaelen menyerah—bukan pada pedangnya, melainkan pada kegelapan di dalam dirinya sendiri.

This chapter is updat𝙚d by freeweɓnovel.cøm.