The Shattered Light-Chapter 182: – Bayangan dari Volcair

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 182: – Bayangan dari Volcair

Kabut menyelimuti lereng-lereng batu hitam Volcair. Tak ada burung, tak ada suara serangga. Hanya dentingan samar seperti rantai yang diseret perlahan di kejauhan.

Di tengah reruntuhan, sebuah altar retak memancarkan denyut cahaya merah darah. Di sekitarnya, sosok-sosok berjubah hitam berkumpul dalam keheningan ritual. Mereka tidak berbicara, tidak berdoa. Hanya berdiri—menunggu.

Kemudian, dari dalam altar, bayangan hitam perlahan membentuk wujud. Bukan manusia. Bukan juga roh. Ia... seperti sisa dari sesuatu yang telah dibuang oleh dunia.

“Arkana... sudah bergerak,” gumam sosok tertinggi di antara mereka, suaranya serak namun jelas.

Bayangan itu membuka matanya. Keduanya kosong, memantulkan ingatan yang telah lama dikubur.

“Bukan Arkana yang penting,” bisik sang bayangan. “Tapi dia... yang memilih menahan kekuatannya.”

“Kaelen,” gumam para pengikutnya serempak.

Sementara itu, ratusan mil dari sana, di kota kecil bernama Derkheim, Kaelen sedang membantu mendirikan dinding pengaman bersama anak-anak muda dari tiga bekas faksi perang. Tangannya berlumur tanah, bajunya sobek di bagian pundak. Tapi wajahnya... tenang.

“Tarik talinya, Talven. Biar kusangga dari sisi sini,” ujar Kaelen sambil mengangkat papan kayu besar.

“Siap, Kapten!” jawab Talven, bocah bekas tentara yang kini lebih suka bercocok tanam ketimbang mengangkat pedang.

Lyra datang membawa kendi air, menyeka keringat dari pelipis Kaelen. “Kau bisa berhenti sebentar. Mereka bisa melanjutkan.”

Kaelen mengangguk, menerima kendi itu, meneguk perlahan.

“Aku suka tempat ini,” kata Lyra pelan. “Sunyi, tapi bukan kesepian. Orang-orang di sini benar-benar ingin memulai ulang.”

Kaelen tersenyum samar. “Dan untuk pertama kalinya, aku tak merasa bersalah karena merasa damai.”

Tiba-tiba, seorang pengintai datang terburu-buru dari arah barat.

“Kaelen! Kami menemukan sesuatu di pinggir sungai!”

Beberapa menit kemudian, Kaelen, Lyra, dan Alden berdiri di tepi sungai dangkal yang mengalir di bawah tebing. Di sana, tergeletak tubuh seorang lelaki—berpakaian Ordo, tapi lambangnya dicoret kasar.

Alden memeriksa nadi. “Masih hidup. Tapi... lihat ini.”

Ia membalik bagian kerah lelaki itu. Di sana tergurat simbol yang tak asing bagi Kaelen—ukiran bayangan menyelimuti relik pecah.

“Volcair,” bisik Kaelen.

Lelaki itu menggeliat, matanya terbuka separuh. Bibirnya pecah-pecah.

“Jangan... biarkan... mereka bangkit...”

“Siapa?” tanya Kaelen, menunduk.

“Bayangan... dari dalam...” napasnya putus. Ia pingsan.

Kaelen dan Lyra bertukar pandang. Diam.

Malam harinya, Kaelen duduk di luar tenda, memandangi api unggun yang menari pelan. Di pangkuannya, potongan peta tua Volcair yang dulu ia simpan setelah serangan besar.

Alden muncul membawa gulungan dari arsip Elvarin. “Kau harus lihat ini.”

Ia membuka gulungan. Di sana tertulis catatan Elvior—ayah Lyra—tentang Proyek Abyssus. Sebuah eksperimen tua Ordo yang dikubur karena “efek spiritual tidak terkendali.”

“Relik terakhir ada di Volcair,” gumam Alden. “Dan sepertinya mereka yang tersisa... mencoba membangkitkan sesuatu yang bahkan Elvior takut sebut namanya.”

Kaelen menatap catatan itu lama.

Lyra muncul, duduk di sampingnya. “Kalau kita pergi, tidak akan ada jalan kembali. Ini bukan perang besar. Ini seperti berjalan ke dalam luka terbuka yang belum sempat sembuh.”

Kaelen menatap tangannya. “Mungkin yang tersisa dari kita... memang hanya luka.”

Lyra menggenggam tangannya. “Tapi bahkan luka pun bisa jadi pintu.” 𝒇𝓻𝓮𝓮𝙬𝙚𝒃𝒏𝓸𝙫𝒆𝙡.𝓬𝓸𝒎

Kaelen mengangguk. “Besok pagi, kita menuju Volcair.”

Di tempat lain—jauh, dalam gua di balik reruntuhan—bayangan itu kembali mengerang. Tubuhnya menggeliat, membentuk wajah yang terus berubah. Kadang mirip Kaelen. Kadang mirip Serina. Kadang kosong.

Sosok berjubah yang memimpinnya mendekat. “Bayanganmu makin kuat. Setiap kali kau memilih manusia... bagianmu yang tertinggal di dalam relik itu tumbuh.”

Bayangan itu tertawa. “Karena Kaelen telah melawan takdirnya... maka aku akan jadi takdir barunya.”

Dan malam itu, tanah Volcair kembali berdenyut.