The Shattered Light-Chapter 16: – Api yang Mulai Menyala
Chapter 16 - – Api yang Mulai Menyala
Kelompok itu bergerak perlahan menuju barat laut, menembus rimbunnya hutan yang terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti jalur yang mereka lalui, sementara suara burung-burung liar seolah mengawasi langkah mereka. Aroma tanah basah bercampur samar bau abu, mengingatkan Kaelen pada malam desanya dilalap api.
Kaelen berjalan di depan bersama Varrok, meski pria tua itu masih terlihat lelah akibat luka yang dideritanya. Namun, tekad dan ketegarannya tidak luntur sedikit pun. Di belakang mereka, Lyra berjalan berdampingan dengan Serina. Keduanya sesekali bertukar pandang, namun kata-kata sulit keluar. Darek menjaga barisan belakang, dengan Kael dan Aria berjalan di tengah. Aria tampak masih terguncang, sesekali menoleh ke belakang dengan cemas.
Suasana di antara mereka lebih tenang dibanding malam sebelumnya, tetapi ketegangan masih terasa. Kematian selalu membayang di setiap langkah. Kaelen mencoba tetap fokus, namun suara-suara samar dari masa lalunya sesekali menyusup ke pikirannya—jeritan ibunya, suara ayahnya yang memanggilnya untuk lari.
Saat matahari mulai meninggi, mereka berhenti di sebuah dataran kecil untuk beristirahat. Varrok duduk bersandar pada pohon, mengatur napasnya. Kaelen duduk di sampingnya.
"Bagaimana lukamu?" tanya Kaelen.
Varrok mengusap bahunya yang diperban seadanya. "Bukan yang terburuk yang pernah kuterima. Aku pernah ditusuk lebih dalam di masa mudaku, tapi lihat aku sekarang. Masih hidup. Kau juga akan jadi sekuat itu suatu hari nanti."
Kaelen tersenyum kecil, meskipun di hatinya ia masih merasakan kekhawatiran. "Aku berharap aku bisa sekuatmu... dan tetap bisa berpikir jernih. Kadang... aku merasa amarahku terlalu menguasai. Aku takut, Pak Tua."
Varrok menatapnya serius. "Itu sebabnya kau butuh teman di sekelilingmu. Orang-orang yang bisa menarikmu kembali sebelum kau terjerumus terlalu jauh. Kau mengerti?"
Kaelen mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu betapa sulitnya menahan bara dendam yang terus berkobar.
Di sisi lain, Lyra duduk di samping Serina. Hening di antara mereka begitu kental hingga hanya terdengar desiran angin dan dedaunan yang berguguran.
"Kau mengenalnya sejak lama, ya?" tanya Lyra tiba-tiba, memecah keheningan.
Serina menoleh, sedikit terkejut. "Kaelen? Tidak terlalu lama. Tapi... aku merasa aku bisa mempercayainya. Dan kau?"
Lyra terdiam sejenak sebelum menjawab. "Dia orang pertama yang membuatku merasa aman sejak aku kehilangan keluargaku. Aku takut kehilangan dia."
Serina mengangguk pelan, meski di dalam hatinya ada gemuruh perasaan yang sulit ia kendalikan. Ia sadar, Lyra memiliki tempat yang spesial di hati Kaelen. Dan entah kenapa, itu melukai dirinya lebih dari yang ia duga. Perasaan itu membawanya kembali ke kenangan lama—seorang lelaki yang pernah ia cintai, yang terbunuh di depan matanya saat Ordo Cahaya menyerang desanya dulu. Luka itu belum sembuh, dan kini perasaan baru terhadap Kaelen membuatnya semakin rumit.
Setelah beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan. Saat menjelang senja, mereka tiba di dekat desa kecil yang disebut Varrok sebagai tempat perlindungan para penyintas. Namun, yang mereka temui hanyalah puing-puing bangunan yang hangus terbakar. Asap tipis masih mengepul dari beberapa sudut, menandakan peristiwa itu belum lama terjadi.
Kaelen mendekat dengan hati-hati. Ia melihat tubuh-tubuh yang berserakan di tanah, beberapa dengan luka bacokan yang kejam. Mata Lyra membesar, air matanya menggenang. Serina menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya.
Varrok mengepalkan tinjunya. "Mereka mendahului kita. Ordo Cahaya sudah sampai di sini lebih dulu."
This 𝓬ontent is taken from freeweɓnovel.cѳm.
Darek menendang batu di dekatnya dengan kesal. "Sampai kapan kita hanya jadi yang tertinggal?"
Kaelen merasakan amarah itu juga. Namun, ia mengingat kata-kata Varrok. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan ledakan emosi.
"Kita tetap harus mencari penyintas, siapa tahu ada yang bersembunyi," ucap Kaelen.
Mereka mulai menyisir reruntuhan. Di balik sebuah dinding yang hampir runtuh, Kaelen menemukan seorang lelaki tua yang terluka parah. Napasnya tersengal.
"Mereka... datang... tanpa ampun..." kata lelaki itu dengan suara lemah.
Kaelen berlutut. "Siapa? Ordo Cahaya?"
Lelaki itu mengangguk. "Dan... mereka... menyebut nama... Eryon..."
Kaelen mencatat nama itu dalam ingatannya, meski belum menganggapnya sebagai ancaman berarti. Nama itu asing baginya. Ia hanya mengira itu salah satu prajurit tinggi Ordo Cahaya, seperti yang lain-lainnya. Fokusnya saat itu hanya pada penyintas dan keselamatan kelompoknya.
Sebelum Kaelen sempat bertanya lebih jauh, lelaki tua itu menghembuskan napas terakhirnya.
Kaelen berdiri perlahan, menatap Varrok. "Salah satu pemimpin mereka... Eryon."
Varrok mengangguk, wajahnya mengeras. "Kalau begitu, kita harus lebih siap. Dan kita akan membalas mereka... dengan cara kita."
Di antara abu dan mayat yang berserakan, Kaelen berdiri dengan hati yang semakin membaja. Perjalanan mereka baru saja memasuki babak yang lebih berbahaya. Namun, di pikirannya, Eryon hanyalah salah satu nama di antara banyak musuh. Ia belum tahu, pertemuannya dengan sosok itu kelak akan mengubah segalanya.