The Shattered Light-Chapter 15: – Di Batas Hidup dan Dendam
Chapter 15 - – Di Batas Hidup dan Dendam
Fajar perlahan menyingkap kabut dingin yang menyelimuti lembah. Kaelen duduk di atas batu besar, pandangannya kosong menatap ke arah timur, tempat di mana jeritan Varrok tadi malam masih terngiang di kepalanya. Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanannya menggenggam pisau dengan erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras.
Langkah Serina mendekat pelan. Ia duduk di samping Kaelen tanpa berkata-kata untuk beberapa saat. Udara dingin menyelusup di antara mereka.
"Aku tahu kau ingin kembali mencarinya," ucap Serina lirih. "Aku juga ingin... tapi kita harus menunggu. Mereka mungkin masih mengintai."
Kaelen tidak langsung menjawab. Napasnya berat. "Dia... Varrok... dia lebih dari sekadar guru bagiku. Dia yang mengangkatku saat aku kehilangan segalanya. Jika dia mati... aku..."
Suara Kaelen pecah. Serina menatapnya, ada empati dalam matanya. Ia mengerti betul rasa kehilangan, sebab ia telah berkali-kali merasakannya.
"Kita akan menemukannya, Kaelen. Entah hidup atau..." Serina menggantung kalimatnya, sadar itu bukan hal yang mudah didengar.
Tak lama, Lyra dan yang lainnya mendekat. Lyra menatap Kaelen cemas, sementara Darek tampak kelelahan. Kael dan Aria duduk bersandar di pohon, wajah mereka pucat dan trauma jelas terpancar.
Beberapa menit kemudian, semak-semak bergerak di kejauhan. Semua langsung waspada. Namun, yang muncul adalah Varrok, tertatih, dengan bahu berdarah dan wajah lebam. Aria berteriak kecil, Darek segera membantu Varrok duduk.
"Aku pikir... kalian sudah pergi meninggalkanku," ucap Varrok dengan senyum samar, meski jelas ia menahan sakit.
Kaelen langsung berlutut di hadapannya. Mata Kaelen memerah, suaranya bergetar, menahan emosi yang meluap. "Aku hampir berlari mencarimu. Aku pikir... aku akan kehilanganmu... seperti aku kehilangan mereka..." Bibirnya gemetar, dan sejenak air mata hampir tumpah, tetapi ia menahannya dengan susah payah. Napasnya pendek dan berat, mencerminkan ketakutan yang baru saja sedikit mereda.
"Kau bodoh kalau kau melakukannya," potong Varrok tegas, meski nadanya lembut. "Tapi aku mengerti. Aku pernah sepertimu dulu."
Varrok menghela napas, lalu melanjutkan, "Aku selamat karena keberuntungan. Aku berhasil membunuh satu, tapi yang lain... mereka membiarkanku hidup. Itu bukan hal yang baik. Itu artinya mereka ingin aku membawa pesan ketakutan."
Kaelen menunduk, merasa bersalah dan marah pada dirinya sendiri.
Setelah Varrok mendapatkan perawatan seadanya, kelompok itu berkumpul membentuk lingkaran kecil. Varrok menatap mereka satu per satu.
"Aku tahu semalam berat untuk kita semua. Tapi kita masih hidup. Dan kita harus terus maju. Jika kita berhenti sekarang, semua yang telah kita lalui akan sia-sia."
Kaelen mengangguk pelan. Namun di dalam hatinya, ada bara dendam yang terus membara. Sekilas, ingatan tentang desanya yang dilalap api melintas. Jeritan ibunya, tubuh ayahnya yang bersimbah darah, dan tatapan kosong penduduk yang tergeletak di tanah—semua itu kembali menghantui pikirannya. Ia menggenggam pisau di pinggangnya lebih erat, seolah bisa menusuk balik para algojo Cahaya yang telah merenggut segalanya darinya. Ia ingin membalas apa yang dilakukan Pengintai Hitam, ingin menghancurkan Ordo Cahaya dengan tangannya sendiri.
Setelah perbincangan itu, kelompok beristirahat sejenak. Kaelen duduk di samping Lyra. Untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman dalam kehadiran seseorang setelah sekian lama.
Visit ƒree𝑤ebnσvel.com for the 𝑏est n𝘰vel reading experience.
"Aku takut kehilangan Varrok tadi," ucap Kaelen pelan.
Lyra mengangguk. "Aku juga takut kehilanganmu."
Kaelen menoleh, menatap mata Lyra yang lembut. Ada kehangatan yang menyelinap di dada Kaelen. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi rasa canggung menahannya. Mereka hanya duduk bersebelahan, diam, namun terasa lebih dekat dari sebelumnya.
Dari kejauhan, Serina memperhatikan mereka. Ia menggenggam busurnya erat. Dalam benaknya, bayangan masa lalu berkelebat—seseorang yang pernah ia cintai, seorang pejuang yang gugur di tangan Ordo Cahaya. Kehilangan itu masih membekas, dan melihat kedekatan Kaelen dengan Lyra membuat luka itu terbuka kembali. Bukan hanya cemburu yang ia rasakan, tapi juga ketakutan akan kehilangan orang lain yang mulai berarti baginya. Perasaan asing kembali mencengkeram hatinya, campuran antara rasa syukur karena mereka selamat dan nyeri yang ia sendiri belum mampu pahami.
Saat matahari mulai naik, Varrok berdiri dengan susah payah.
"Kita bergerak ke barat laut. Ada desa kecil di sana, tempat para penyintas mungkin bersembunyi. Kita harus menemui mereka. Kita harus membangun kembali Bayangan Malam."
Kaelen berdiri, bersama yang lain. Langkah mereka mungkin berat, tetapi semangat di dalam hati mereka mulai menyala kembali. Dengan Varrok yang masih hidup, dan Lyra di sisinya, Kaelen merasa masih memiliki sesuatu untuk diperjuangkan.
Namun, jauh di dalam dirinya, ia tahu: kegelapan dalam dirinya belum selesai. Dan suatu hari nanti, ia mungkin harus membayarnya dengan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada nyawanya sendiri.