The Shattered Light-Chapter 87: – Bayangan Masa Lalu

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 87 - – Bayangan Masa Lalu

Kaelen menatap Serina yang masih terbaring di tanah, napasnya belum stabil. Meski matanya telah terbuka dan suaranya kembali terdengar, sesuatu di dalam dirinya masih terasa asing. Cahaya obor di gua berpendar lembut di kulit pucatnya, tetapi tidak menghangatkan suasana. Serina telah kembali, namun Kaelen tak bisa menghilangkan keraguan dalam benaknya.

The sourc𝗲 of this content is frёeωebɳovel.com.

"Bagaimana perasaanmu?" Kaelen bertanya pelan, suaranya sedikit bergetar.

Serina berkedip, lalu mengangkat tangannya seolah mencoba merasakan keberadaannya sendiri. "Aku... tidak tahu."

Kaelen mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Serina menatapnya, kali ini dengan sorot mata yang tidak sepenuhnya ia kenali. "Aku merasa seperti ada sesuatu yang tertinggal... atau sesuatu yang hilang."

Keheningan menggantung di antara mereka. Kaelen ingin meyakinkannya, ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi ia sendiri tidak yakin. Ia tahu konsekuensi dari menghidupkan kembali sesuatu yang telah hilang. Tidak ada yang kembali tanpa perubahan.

"Coba berdiri," kata Kaelen akhirnya.

Serina mengangguk perlahan, lalu berusaha bangkit. Namun, begitu ia mencoba menopang tubuhnya, lututnya melemah. Kaelen bergerak cepat, menangkapnya sebelum ia jatuh kembali ke tanah.

Serina menggigit bibirnya. "Aku lemah..."

Kaelen menggeleng. "Itu wajar. Kau telah terjebak di antara kehidupan dan kematian. Tubuhmu butuh waktu untuk menyesuaikan diri."

Serina menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak hanya merasa lemah secara fisik, Kaelen... Aku merasa seperti bukan diriku sendiri."

Kaelen terdiam. Kata-kata itu menggores hatinya lebih dalam dari yang ia harapkan. Ia sudah menduga kemungkinan ini, tetapi mendengarnya langsung dari mulut Serina membuat kenyataan itu semakin sulit diterima.

Sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki bergema di dalam gua. Kaelen langsung siaga, mencabut pedangnya.

Dari balik bayangan, sesosok pria tua dengan jubah abu-abu muncul. Penjaga Ingatan.

"Kau berhasil membawanya kembali," katanya dengan nada datar, matanya meneliti Serina seolah sedang menilai sesuatu.

Kaelen mengangguk. "Tapi ada yang berbeda."

Penjaga Ingatan menatap Serina lebih lama, lalu akhirnya berbicara, "Tentu saja ada yang berbeda. Setiap jiwa yang kembali membawa sesuatu yang baru... atau kehilangan sesuatu yang lama."

Serina menatap pria tua itu. "Apa yang hilang dariku?"

Penjaga Ingatan menghela napas, lalu melangkah lebih dekat. "Itulah yang harus kau cari sendiri."

Serina mengepalkan tangannya. "Aku tidak ingin teka-teki. Jika kau tahu sesuatu, katakan!"

Pria tua itu hanya tersenyum samar. "Jawaban ada di dalam dirimu. Namun... apakah kau siap untuk menemukannya?"

Serina membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi sebelum ia bisa berkata apa pun, rasa sakit tiba-tiba menghantam kepalanya. Ia terhuyung, memegangi pelipisnya dengan ekspresi kesakitan.

"Serina!" Kaelen segera mendekapnya, tetapi ia hanya mengerang, seolah ada sesuatu yang menarik kesadarannya ke arah yang tak terlihat.

"Ini sudah dimulai," bisik Penjaga Ingatan.

Kaelen menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"

Pria tua itu mengangkat satu alis. "Ia mulai melihat ingatan yang tidak seharusnya ada."

Kaelen membeku. "Apa?"

Namun sebelum Penjaga Ingatan bisa menjawab, mata Serina tiba-tiba terbuka lebar, tetapi kali ini, tatapannya bukan tatapan yang Kaelen kenal. Ada sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak seharusnya ada di dalam dirinya.

Tiba-tiba, dunia di sekelilingnya bergetar. Bayangan-bayangan melintas di benaknya—wajah-wajah yang ia kenali, tetapi tidak pernah ia ingat. Suara-suara bergema, berbisik nama-nama yang asing tetapi terasa begitu dekat.

Dengan suara yang nyaris seperti bisikan angin, Serina berbicara. Tetapi suaranya terdengar seperti dua orang berbicara bersamaan.

"Siapa... aku?"