The Shattered Light-Chapter 63: – Menuju Kedalaman yang Tak Dikenal
Chapter 63 - – Menuju Kedalaman yang Tak Dikenal
Mereka berlari menembus hutan, mengikuti pria berjubah hitam yang bergerak dengan langkah cepat dan ringan. Cahaya obor di belakang mereka semakin dekat, suara pasukan Ordo Cahaya terdengar menggema di antara pepohonan. Kaelen merasakan denyut adrenalinnya meningkat, tetapi pikirannya tetap tertuju pada satu hal—siapa pria ini dan bagaimana dia tahu tentang ingatan yang hilang? Di belakangnya, suara derap kaki semakin dekat. Cahaya obor menari di antara pepohonan, dan tiba-tiba, sebuah anak panah melesat, menghantam batang pohon hanya beberapa inci dari kepalanya. Napasnya tercekat, tapi ia memaksa dirinya untuk terus berlari.
"Ke mana kau membawa kami?" Kaelen bertanya, suaranya terdengar tajam meski terengah-engah.
Pria itu tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar mereka terus mengikutinya. Lyra, yang masih memegang busurnya dengan siaga, melirik Kaelen dengan waspada. "Aku tidak suka ini," bisiknya. "Dia bisa saja menjebak kita."
"Aku tahu," Kaelen membalas. "Tapi kita tidak punya pilihan lain."
Mereka terus bergerak hingga akhirnya mencapai sebuah gua tersembunyi di antara bebatuan besar. Pria itu melangkah masuk tanpa ragu, dan setelah saling pandang sesaat, Kaelen, Lyra, dan Varrok mengikutinya.
Di dalam, gua itu lebih luas dari yang terlihat dari luar. Dindingnya berkilat samar, seolah mengandung mineral yang memantulkan cahaya redup. Udara terasa lebih dingin, tetapi ada sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang membuat bulu kuduk Kaelen berdiri.
Pria itu berhenti di tengah gua dan berbalik menghadap mereka. "Kalian aman di sini untuk sementara. Pasukan Ordo Cahaya tidak akan menemukan kita."
Kaelen menatapnya tajam. "Sekarang jelaskan. Siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana kau tahu tentang aku?"
Pria itu menghela napas, lalu membuka jubahnya, memperlihatkan pakaian dalam yang gelap dengan sulaman simbol-simbol kuno. "Namaku Veylan," katanya. "Aku adalah salah satu dari mereka yang selamat dari perburuan Penyihir Bayangan."
Visit freewebnoveℓ.com for the best novel reading exp𝒆rience.
Varrok mengangkat alis. "Penyihir Bayangan? Mereka seharusnya sudah musnah bertahun-tahun lalu."
Veylan tersenyum tipis. "Itulah yang ingin dipercayai oleh dunia. Tapi kenyataannya, beberapa dari kami masih bertahan, tersembunyi di tempat-tempat seperti ini." Ia menatap langsung ke Kaelen. "Dan kau, Kaelen, kau lebih dari sekadar prajurit biasa. Kekuatan yang ada dalam dirimu adalah bagian dari warisan yang sama yang coba dimusnahkan oleh Ordo Cahaya."
Kaelen mundur selangkah, dadanya naik turun. "Tidak. Aku bukan bagian dari kalian. Aku bukan monster." Veylan tetap tenang. "Tapi kekuatanmu berkata sebaliknya, bukan?" Kaelen mengepalkan tinjunya. Ia ingin membantah, tetapi di lubuk hatinya, ia tahu ada kebenaran dalam kata-kata itu. "Aku tidak peduli dengan warisan," katanya akhirnya, suaranya bergetar. "Aku hanya ingin tahu kenapa aku kehilangan ingatanku."
Veylan menatapnya lama sebelum berbicara lagi. "Kekuatanmu tidak hanya merenggut ingatanmu, Kaelen. Itu juga mengubah siapa dirimu. Semakin sering kau menggunakannya, semakin jauh kau melangkah menuju kegelapan yang tidak bisa kau kembalikan."
Lyra menggeleng, suaranya penuh kemarahan yang tertahan. "Lalu bagaimana cara menghentikannya? Bagaimana kita bisa membuatnya kembali seperti semula?"
Veylan menatapnya dengan ekspresi berat. "Kau tidak bisa hanya menghentikannya begitu saja. Kegelapan tidak dapat dihapus—hanya dapat diarahkan. Dan satu-satunya cara untuk mengendalikan kekuatan itu... adalah dengan menghadapi asal-usulnya."
Kaelen merasakan hatinya mencelos. "Apa maksudmu?"
Veylan berjalan ke bagian terdalam gua, lalu menyentuhkan tangannya ke dinding. Seketika, simbol-simbol kuno yang terukir di batu mulai bersinar redup. "Ada tempat di mana semuanya dimulai. Sebuah tempat yang telah lama disegel oleh Ordo Cahaya. Tempat itu menyimpan jawaban yang kau cari—tentang kekuatanmu, tentang ingatanmu, tentang siapa dirimu sebenarnya."
Kaelen menelan ludah. "Dan di mana tempat itu?"
Veylan menoleh, sorot matanya penuh keseriusan. "Di Jantung Kegelapan."
Kaelen merasakan hawa dingin merayap di kulitnya. Nama itu terdengar seperti kutukan. Tempat yang disebut hanya dalam bisikan oleh mereka yang cukup berani untuk mengakuinya. "Jantung Kegelapan bukan sekadar tempat terlarang," lanjut Veylan, suaranya merendah. "Di dalamnya, bayangan menjadi hidup. Waktu tidak berjalan seperti yang kau pahami. Dan hanya sedikit yang pernah melihatnya... mereka yang kembali tidak lagi menjadi diri mereka sendiri."
Keheningan menyelimuti gua itu. Bahkan Lyra, yang biasanya selalu siap untuk berbicara, tampak kehilangan kata-kata.
Varrok akhirnya angkat suara. "Itu bunuh diri. Tak ada yang bisa masuk ke Jantung Kegelapan dan kembali hidup-hidup."
"Mungkin," kata Veylan tenang. "Tapi jika Kaelen ingin tahu kebenaran, dia harus pergi ke sana. Sebelum kekuatannya mengambil segalanya darinya."
Kaelen menatap tangannya sendiri, merasakan kegelapan yang mengalir dalam darahnya. Lyra menatapnya dengan mata yang penuh dengan kecemasan. "Kaelen, kau tidak harus melakukan ini," suaranya nyaris berbisik. "Kita bisa mencari cara lain."
"Tidak ada cara lain," kata Kaelen, menatapnya dalam. "Aku harus tahu kebenarannya."
Varrok menyilangkan tangan, matanya penuh pertimbangan. "Jika kau pergi ke sana, kau harus siap kehilangan lebih banyak lagi, Kaelen. Pertanyaannya... apakah kau siap membayar harganya?" Ia telah kehilangan begitu banyak, dan jika ada cara untuk menghentikannya sebelum semuanya hilang... mungkin ini satu-satunya pilihan.
Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat kepalanya, matanya penuh dengan tekad.
"Kalau begitu, tunjukkan jalannya."