The Shattered Light-Chapter 61: – Jejak di Antara Kegelapan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 61 - – Jejak di Antara Kegelapan

Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk. Kaelen, Lyra, dan Varrok melanjutkan perjalanan mereka dalam diam, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar samar di antara pepohonan tinggi. Setelah pertarungan melawan serigala bayangan, sesuatu dalam diri Kaelen berubah. Rasa kosong itu semakin dalam, dan dia tahu—ada sesuatu yang telah hilang lagi.

"Kita hampir sampai," ujar Varrok, suaranya rendah namun penuh kepastian. "Reruntuhan itu seharusnya tak jauh dari sini."

Kaelen tidak menjawab. Kepalanya masih berdenyut, sisa dari kekuatan yang ia gunakan sebelumnya. Namun, bukan hanya sakit fisik yang mengganggunya, tetapi juga perasaan aneh yang mengendap di dalam benaknya. Setiap kali ia menggunakan kekuatan itu, ia kehilangan sesuatu. Tetapi apa? Siapa?

Lyra berjalan di sampingnya, sesekali meliriknya dengan cemas. "Kaelen... aku tahu kau merasakannya," katanya akhirnya. "Kau kehilangan sesuatu lagi, bukan?"

Kaelen mengerjap, seakan baru sadar bahwa Lyra berbicara padanya. Ia membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi kata-katanya tertahan. Dia tidak tahu jawaban yang tepat.

"Entah apa yang hilang, tapi aku merasa lebih kosong," akhirnya ia berbisik. "Dan itu menakutkan."

Lyra menggenggam tangannya dengan lembut. "Kita akan menemukannya. Aku tidak akan membiarkan kau kehilangan semuanya."

Kaelen ingin percaya, tetapi semakin ia mencoba mengingat, semakin besar kehampaan yang menelannya.

Setelah satu jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di tujuan—reruntuhan kuil tua yang tersembunyi di balik pepohonan lebat. Pilar-pilar batu yang retak menjulang di antara semak-semak liar, dan patung-patung usang yang dipenuhi lumut berdiri seperti penjaga bisu di kegelapan malam. Udara di tempat itu terasa lebih dingin dari hutan di sekitarnya, membawa bisikan samar yang nyaris tidak terdengar.

Varrok melangkah maju, mengamati struktur yang runtuh dengan sorot mata tajam. "Tempat ini seharusnya aman untuk sementara waktu."

"Terlalu sepi," gumam Lyra, tangannya masih menggenggam busurnya dengan kuat. "Aku tidak suka perasaan ini."

Kaelen merasakan hal yang sama. Ada sesuatu di tempat ini yang membuat bulu kuduknya berdiri, tetapi dia tidak bisa menjelaskan apa. Dia melangkah ke depan, menyentuh salah satu pilar batu yang berlumut.

Saat itu juga, hawa dingin menjalar dari jari-jarinya ke seluruh tubuhnya. Angin tiba-tiba berhenti, dan dalam keheningan yang mencekam itu, suara berbisik terdengar di kepalanya.

"...Kaelen..."

Matanya membelalak. Ia menoleh, mencari sumber suara itu, tetapi yang ia temukan hanyalah reruntuhan yang sunyi. Napasnya memburu.

"Kaelen?" Lyra memegang lengannya, ekspresinya khawatir.

"Aku mendengar sesuatu."

"Mendengar apa?"

Kaelen menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Seseorang... atau sesuatu... memanggil namaku."

Lyra dan Varrok saling berpandangan. "Mungkin tempat ini memiliki jejak energi lama," ujar Varrok akhirnya. "Kuil ini mungkin pernah digunakan oleh para Penyihir Bayangan di masa lalu."

Kaelen tidak yakin, tetapi suara itu begitu nyata.

Mereka akhirnya memutuskan untuk bermalam di dalam reruntuhan, menyalakan api kecil untuk menghangatkan diri. Lyra duduk di dekat Kaelen, tetapi dia bisa merasakan jarak yang semakin lebar di antara mereka.

"Kau tidak akan tidur?" tanya Lyra lembut.

Kaelen menggeleng. "Aku tidak bisa."

This content is taken from fгeewebnovёl.com.

Dia tidak ingin bermimpi lagi. Tidak ingin mendengar suara itu lagi.

Namun, saat malam semakin larut, Kaelen mulai merasa kantuk menguasainya. Ia menutup matanya sejenak, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kelelahan.

Dan saat itulah, ia melihatnya.

Seorang gadis berdiri di hadapannya, sosoknya samar, nyaris transparan. Rambutnya panjang, tergerai lembut seperti helaian kabut. Matanya penuh kesedihan.

"Kaelen..."

Kaelen tersentak, mendapati dirinya berdiri di tengah reruntuhan yang kini tampak utuh, seperti kembali ke masa lalu. Api obor menerangi dinding batu, dan suara langkah kaki menggema di kejauhan. Udara dipenuhi aroma dupa yang asing, memberikan sensasi yang tak bisa dijelaskan.

"Apa... ini?"

Gadis itu melangkah mendekat. "Kau tidak mengingatku, bukan?"

Kaelen mencoba berbicara, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokannya.

"Setiap kali kau menggunakan kekuatanmu, kau kehilangan bagian dari dirimu sendiri," lanjut gadis itu, suaranya lembut namun penuh kepedihan. "Dan pada akhirnya, kau akan kehilangan segalanya."

Kaelen menggenggam kepalanya, rasa sakit menyerangnya seperti gelombang besar. Sebuah kilasan wajah lain muncul di pikirannya—wajah yang hampir dikenalnya, tetapi begitu cepat menghilang.

"Aku... aku tidak ingin melupakan..."

"Lalu berhentilah sebelum terlambat."

Cahaya terang menyilaukan membanjiri penglihatannya, dan dalam sekejap, semuanya menghilang.

Kaelen terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Lyra dan Varrok menatapnya dengan waspada.

"Apa yang terjadi?" tanya Lyra.

Kaelen menatap ke tangannya, masih bisa merasakan dinginnya kehadiran gadis itu. Dadanya berdegup kencang, seolah ada sesuatu yang ingin dia ingat tetapi terhalang oleh kabut tebal.

"Aku ingat sesuatu," katanya pelan.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasa lebih takut daripada sebelumnya.