The Shattered Light-Chapter 52: – Retakan yang Kian Melebar

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 52 - – Retakan yang Kian Melebar

Pagi itu, kabut tebal masih menyelimuti pos. Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Sisa malam yang penuh ketegangan masih terasa di wajah-wajah para prajurit. Kaelen berdiri di menara pengawas, memandang ke arah hutan yang masih tampak sunyi, meskipun ia tahu musuh ada di sana, bersembunyi, mengintai mereka.

Varrok naik ke menara, berdiri di sampingnya. Suara kayu berderit di bawah kaki mereka.

"Tak ada tanda-tanda gerakan semalam," ucap Varrok pelan.

Kaelen mengangguk. "Mereka menunggu waktu yang tepat. Tapi kita juga harus siap kapan saja."

Varrok terdiam sejenak. "Aku bicara dengan beberapa prajurit. Beberapa mulai goyah. Mereka takut ada mata-mata di antara kita. Kejadian semalam membuat mereka makin waspada, tapi juga saling mencurigai."

Kaelen menghela napas panjang. "Aku tahu... Kita harus menenangkan mereka. Tapi aku juga tak bisa mengabaikan rasa curiga ini, Varrok. Garel... Aku melihatnya tadi malam, dia berkeliaran di sekitar tenda penyimpanan saat semua orang tertidur. Ketika aku mencoba mendekat, dia langsung pergi, seolah tidak ingin ketahuan. Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang dia tunjukkan."

Varrok mengangguk, tetapi sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, terdengar suara langkah cepat mendekati menara.

Serina datang dengan wajah cemas. "Kaelen, Balrik dan Joren hampir berkelahi. Kau harus turun sekarang."

Kaelen dan Varrok segera turun dari menara. Di bawah, beberapa prajurit berkumpul. Balrik mendorong Joren hingga jatuh ke tanah, wajahnya merah padam.

"Aku tahu kau melihat sesuatu! Kau diam saja, ya?! Apa kau yang membawa kematian itu ke pos ini?!" teriak Balrik.

Joren bangkit dengan wajah memerah karena malu dan marah. "Aku sudah bilang, aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak membunuh siapa pun! Kenapa kau terus menyalahkanku?!"

This content is taken from fгeewebnovёl.com.

Kaelen melangkah di antara mereka, suaranya tegas. "Berhenti! Tidak ada perpecahan di antara kita. Balrik, Joren, kalian sama-sama lelah, tapi ini bukan cara kita. Jika kita mulai saling mencurigai, musuh sudah menang bahkan sebelum menyerang."

Balrik menundukkan kepala, napasnya memburu. Joren menatap Kaelen dengan rasa terima kasih bercampur takut.

Kaelen melanjutkan, kali ini dengan nada lebih rendah tapi tajam. "Aku tahu kita semua lelah. Tapi kita harus kuat. Kita harus percaya satu sama lain. Jika ada yang merasa ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan padaku atau Varrok. Jangan bertindak sendiri."

Kerumunan perlahan membubarkan diri. Hanya Serina dan Lyra yang masih berdiri di dekat Kaelen.

Serina menaruh tangan di bahu Kaelen. "Kau tak bisa terus menanggung semuanya sendiri. Kami di sini bersamamu." Kaelen merasakan kehangatan dari sentuhan itu, namun bersamaan dengan itu muncul keraguan. Di tengah beban tanggung jawab yang ia pikul, ada perasaan halus yang mulai tumbuh untuk Serina. Namun, pikirannya juga berkelana ke Lyra, mengingat tatapan sayu gadis itu yang kerap ia tangkap diam-diam. Hatinya terbelah, antara tugas sebagai pemimpin dan perasaan yang perlahan mengakar.

Kaelen tersenyum tipis. "Terima kasih, Serina. Aku tahu itu."

Lyra diam, namun sorot matanya penuh kekhawatiran. Ia ingin bicara, ingin menyatakan apa yang ada di hatinya, tetapi suasana di pos ini terlalu suram untuk membahas perasaan.

Menjelang siang, Kaelen memanggil seluruh prajurit untuk berkumpul di tengah pos.

"Kita tidak tahu kapan musuh akan menyerang, tapi aku ingin kalian semua tahu satu hal. Aku percaya kepada kalian. Kita telah melalui banyak hal bersama. Jangan biarkan rasa takut mengalahkan kepercayaan kita. Jika kita berdiri sebagai satu kesatuan, kita bisa melewati ini."

Prajurit mengangguk, beberapa tampak lebih tenang. Varrok berdiri di samping Kaelen, menunjukkan dukungannya.

Namun, di sudut, Garel masih mencatat sesuatu dengan tenang, sesekali melirik ke arah Kaelen. Tatapan mereka sempat bertemu, dan lagi-lagi Kaelen merasakan getaran waspada di dadanya.

Saat matahari mulai condong ke barat, Kaelen berbicara sejenak dengan Varrok di dekat pagar kayu yang mulai lapuk. "Aku akan melakukan patroli kecil di sekitar pos," ucap Kaelen.

Varrok mengangguk, namun wajahnya menyiratkan kekhawatiran. "Berhati-hatilah. Jangan terlalu jauh. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, jangan hadapi sendiri. Kembalilah secepatnya. Kita tak bisa kehilanganmu, Kaelen."

Kaelen menepuk bahu Varrok dengan penuh rasa percaya. "Aku mengerti. Aku akan berhati-hati."

Setelah itu, Kaelen memutuskan untuk melakukan patroli kecil di sekitar pos. Ia mengajak Rhal dan dua prajurit lain. Mereka berjalan perlahan di tepi hutan, langkah mereka hati-hati.

"Lihat ini," bisik Rhal sambil menunjuk jejak kaki samar di tanah.

Kaelen berjongkok. Jejak itu baru, dan ukurannya lebih besar dari manusia biasa. Ada jejak lain di dekatnya, lebih kecil, tetapi bergerak cepat, seperti makhluk yang merayap.

"Mereka semakin dekat," gumam Kaelen.

Tiba-tiba, terdengar suara ranting patah. Semua mencabut senjata. Di antara kabut, bayangan samar tampak bergerak.

"Siapa di sana?!" seru Kaelen.

Tidak ada jawaban. Mereka maju perlahan, dan menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Sebuah kepala manusia ditancapkan di atas tombak. Matanya terbuka, bibirnya menyeringai, namun jelas itu bukan senyuman alami. Tubuhnya entah di mana.

Rhal menahan muntah. Salah satu prajurit bergetar hebat.

"Ini peringatan... mereka ingin melemahkan mental kita," kata Kaelen dengan suara bergetar.

Mereka segera kembali ke pos. Kaelen melaporkan apa yang mereka temukan kepada Varrok dan seluruh prajurit.

"Mereka semakin dekat. Mereka ingin kita takut. Jangan biarkan itu terjadi. Perkuat penjagaan malam ini. Tidak boleh ada yang sendirian. Kita berjaga dalam pasangan."

Malam itu, pos terasa lebih hening dari biasanya. Api unggun menyala terang, tetapi hawa dingin kegelapan tetap merasuk. Kaelen duduk di dekat gerbang, matanya menatap ke kegelapan.

Serina datang, duduk di sampingnya. "Kau harus istirahat."

Kaelen menggeleng. "Aku tak bisa. Aku harus tetap waspada. Aku harus melindungi kalian."

Serina menyandarkan kepalanya di bahu Kaelen. "Aku percaya padamu, Kaelen. Tapi jangan lupakan dirimu sendiri. Kami di sini bersamamu. Aku... di sini bersamamu."

Di kejauhan, Lyra memperhatikan dari balik tenda, tangannya mengepal. Ia berpura-pura sibuk mengasah ujung panahnya, tetapi matanya terus mengamati kedekatan Kaelen dan Serina. Ada rasa sakit yang tertahan di dadanya, namun ia tak ingin menunjukkan kelemahan. Ia hanya bisa berharap Kaelen menyadari keberadaannya—dan perasaannya—sebelum semuanya terlambat.

Kaelen terdiam. Ia merasakan kehangatan, tapi juga ketakutan. Takut kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Takut membuat keputusan yang salah.

Di sudut lain pos, Garel berdiri di bayangan, mengamati dari jauh, senyum tipis tersungging di wajahnya.

Kaelen menatap langit malam yang kelam. Perang besar belum dimulai, tetapi retakan di antara mereka semakin melebar. Ia tahu, malam ini bisa jadi awal dari akhir. Dari kejauhan, terdengar suara ranting patah disertai bisikan samar yang terbawa angin. Kaelen menajamkan pendengarannya, namun yang tersisa hanyalah desir dingin kabut yang mengelus kulit. Namun, perasaan diawasi itu tetap mengendap di benaknya.