The Shattered Light-Chapter 37: – Perpecahan yang Halus
Chapter 37 - – Perpecahan yang Halus
Kemenangan atas pos penjaga di perbatasan selatan membawa angin segar di perkemahan Balrik. Namun, Kaelen merasakan beban yang tak kunjung reda. Meskipun dirinya mulai diterima sebagai pemimpin oleh Rhal dan para pejuang Balrik, ia tahu cobaan yang lebih berat masih menanti. Perasaan puas itu hanya sesaat, karena bayangan kekalahan dan kehilangan masih menghantuinya.
Hari itu, Balrik mengumpulkan semua pemimpin regu di tengah perkemahan. Peta wilayah Ordo Cahaya terbentang di atas meja kayu kasar, penuh coretan jalur penyusupan dan titik penjagaan musuh. Varrok berdiri di samping Kaelen, sementara Serina, Lyra, Darek, dan Aria memperhatikan dari kejauhan dengan wajah tegang.
Balrik menunjuk ke sebuah titik di peta. "Ini pos penjaga berikutnya di utara, lebih besar dan lebih terjaga. Jika kita bisa merebutnya, kita bisa memutus jalur komunikasi Ordo Cahaya di sepanjang lembah ini. Tapi serangan ini takkan mudah. Mereka pasti sudah mengetahui kekalahan di selatan, dan mereka akan lebih siap."
Rhal, yang berdiri di seberang Kaelen, mengangguk. "Penjagaan mereka akan berlipat ganda. Kita membutuhkan penyusupan yang lebih cerdik kali ini. Tak bisa hanya mengandalkan serangan frontal seperti kemarin. Aku mengenal medan itu. Mereka punya menara pandang lebih banyak. Salah langkah, kita terkepung."
Kaelen menatap peta itu lama. "Bagaimana jika kita memancing sebagian pasukan mereka keluar? Kita ciptakan gangguan di hutan barat, seolah-olah kita akan menyerang dari sana. Sementara itu, tim kecil menyelinap dari timur, membuka gerbang dari dalam."
Balrik menyipitkan mata, menimbang usulan itu. "Ide yang bagus, tapi berisiko tinggi. Jika penyusupan gagal, kita semua bisa terkubur di sana. Siapa yang akan memimpin penyusupan?"
Kaelen merasakan semua mata tertuju padanya. Ia tahu jawaban itu sudah jelas.
"Aku," ucap Kaelen tegas. "Aku akan memimpin tim kecil itu. Aku mengenal cara penjaga Ordo bekerja. Aku bisa menembusnya."
Varrok tampak ingin menyela, tetapi ia menahan diri. Balrik mengangguk pelan. "Baiklah. Rhal akan memimpin gangguan di barat. Kalian berangkat besok malam. Bersiaplah. Pastikan orang-orangmu paham betul, ini bukan sekadar misi biasa. Ini bisa menentukan hidup dan mati kita semua."
Saat pertemuan bubar, Kaelen berjalan menuju Serina dan Lyra. Wajah keduanya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
"Kau tak perlu selalu menjadi yang pertama menghadapi bahaya," kata Serina pelan, suaranya bergetar.
Kaelen tersenyum tipis, berusaha meyakinkan. "Aku tahu. Tapi ini jalanku. Aku tak bisa meminta orang lain melakukan sesuatu yang aku sendiri tak berani lakukan. Jika aku ingin mereka percaya, aku harus menunjukkan itu."
Lyra menunduk, suaranya hampir berbisik. "Berhati-hatilah. Kami tak ingin kehilanganmu... aku... tak ingin kehilanganmu."
Kaelen menatap keduanya bergantian. Ada sesuatu yang hangat di hatinya, tapi juga menyakitkan. Ia takut kehilangan mereka, lebih dari apa pun. Namun, ia juga tahu, pertempuran ini akan menuntut lebih banyak pengorbanan. Dan mungkin, ia sendiri yang harus menjadi korbannya.
Malam itu, Kaelen duduk sendirian di pinggiran perkemahan. Ia merenung di bawah langit berbintang. Bisikan kekuatan itu masih ada, membujuknya dengan janji kekuasaan yang bisa membuatnya tak terkalahkan. Tapi Kaelen tahu, setiap kali ia menyerah pada kekuatan itu, ia kehilangan sebagian dari dirinya. Wajah ibunya yang mulai kabur di ingatannya menjadi pengingat akan harga yang harus dibayarnya.
New n𝙤vel chapters are published on freeweɓnøvel.com.
Langkah kaki terdengar mendekat. Varrok duduk di sampingnya, membawa secangkir teh hangat yang mengepulkan uap tipis.
"Kau membuat keputusan yang tepat," ujar Varrok. "Tapi kau harus tahu, semakin jauh kita melangkah, semakin sulit jalan pulang. Aku pernah berada di posisi sepertimu dulu. Memimpin, bertaruh nyawa untuk orang lain. Tapi jangan lupa satu hal—jangan kehilangan dirimu sendiri. Aku sudah melihat banyak pemimpin jatuh, bukan karena pedang musuh, tapi karena mereka lupa siapa mereka."
Kaelen mengangguk, suaranya lirih. "Aku takut, Varrok. Aku takut suatu hari aku bangun dan aku tak lagi mengenal siapa diriku. Aku takut aku melupakan semua yang berharga. Aku takut aku hanya menjadi alat kekuatan ini."
Varrok menepuk bahunya pelan. "Karena itulah kau harus terus ingat alasanmu bertarung. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk mereka yang masih hidup. Untuk masa depan yang lebih baik. Pegang itu erat-erat. Itu satu-satunya yang bisa membuatmu tetap menjadi Kaelen."
Kaelen menatap langit malam. Ia merasa sedikit lebih kuat, meskipun perasaan takut itu masih ada. Esok adalah langkah baru, tapi ia tahu, bayangan kegelapan masih mengintainya di setiap sudut.
Di tempat lain, jauh di antara pepohonan, Eryon berdiri diam. Mata dinginnya menatap ke arah perkemahan. Ia bisa merasakan Kaelen semakin kuat, tetapi ia juga tahu, semakin kuat cahaya itu bersinar, semakin besar bayangan yang mengikutinya. Eryon menanti. Saat yang tepat akan datang, dan saat itu tiba, Kaelen akan memilih—menjadi pahlawan, atau menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.