The Shattered Light-Chapter 35: – Bayangan di Meja Perundingan
Chapter 35 - – Bayangan di Meja Perundingan
This content is taken from freeweɓnovel.cѳm.
Malam mulai menyelimuti perkemahan Balrik ketika Kaelen dan kelompoknya duduk melingkar bersama pemimpin pasukan pemberontak itu. Api unggun di tengah mereka mengusir dinginnya udara lereng bukit, tetapi kehangatan yang ditawarkannya tak mampu mencairkan ketegangan di udara.
Balrik duduk bersila, matanya tajam menatap Varrok yang baru saja selesai memaparkan rencana mereka. Beberapa pemimpin pasukan Balrik ikut hadir, termasuk pria dengan bekas luka di pipi yang sebelumnya mengancam mereka di perbatasan. Tatapan mereka dingin, mencerminkan hidup yang keras di bawah penindasan Ordo Cahaya.
"Rencana kalian berani," Balrik akhirnya bersuara, suaranya berat. "Tapi, apa jaminannya ini bukan hanya membawa kematian bagi orang-orangku? Ordo Cahaya lebih kuat dari sebelumnya. Dan aku tak melihat apa yang bisa kalian tawarkan selain tekad dan dendam."
Kaelen merasakan tatapan Balrik beralih kepadanya. Ia tahu, beban pembuktian ada di pundaknya. Napasnya dalam, mencoba mengendalikan ketegangan di dadanya.
"Kami mungkin hanya sekelompok kecil," Kaelen mulai bicara, suaranya tegas meskipun dalam hatinya gemetar. "Tapi kami membawa sesuatu yang lebih dari sekadar dendam. Kami membawa harapan. Kami telah melawan Ordo Cahaya. Kami tahu kelemahan mereka. Dan kami tahu ketakutan mereka. Mereka takut pada persatuan orang-orang seperti kita. Mereka takut pada api yang mulai kita nyalakan."
Balrik menyipitkan mata. "Harapan saja tak cukup untuk mengalahkan mereka. Apa kau punya kekuatan untuk benar-benar menumbangkan mereka?"
Kaelen terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dimaksud Balrik. Ia tahu kekuatan gelap dalam dirinya bisa menjadi jawaban, tetapi ia juga tahu harga yang harus dibayar. Setiap kali ia memanggil kekuatan itu, sebagian dari dirinya menghilang.
"Aku punya sesuatu... kekuatan yang bisa membalikkan keadaan," kata Kaelen akhirnya, lebih hati-hati. "Tapi kekuatan itu... memiliki harga yang mahal. Aku hanya akan menggunakannya ketika benar-benar dibutuhkan."
Balrik mengamati Kaelen dengan tatapan penuh selidik. Seolah ia melihat lebih dalam ke dalam jiwa pemuda itu. Sejenak keheningan menyelimuti. Api unggun berderak perlahan, bayangan wajah-wajah mereka bergoyang di cahaya temaram.
Serina yang duduk di samping Kaelen merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu betul apa yang dimaksud Kaelen dengan harga yang mahal. Setiap kali kekuatan itu digunakan, Kaelen kehilangan bagian dari dirinya—bagian dari kenangannya. Ia takut Kaelen akan kehilangan segalanya.
"Kami tak meminta kalian bertarung demi kami," Varrok angkat bicara lagi. Suaranya penuh ketegasan seorang pemimpin. "Kami ingin bertarung bersama. Ini bukan hanya perang kami, Balrik. Ini perang semua orang yang menginginkan kebebasan. Kita bisa kalah jika sendiri, tapi bersama... kita punya peluang."
Balrik menghela napas panjang. Ia melirik ke arah para pemimpinnya, yang sebagian mengangguk, meskipun masih tampak keraguan di wajah mereka. Mereka tahu, peperangan melawan Ordo Cahaya bukan sekadar pertempuran pedang—ini perang yang akan menghabisi siapa saja yang lemah hati.
"Baiklah," Balrik akhirnya berkata. "Kami akan berjuang bersama kalian. Tapi aku ingin satu hal jelas. Jika kita mulai perang ini, tak ada jalan mundur. Kita semua harus siap mati."
Kaelen mengangguk mantap. "Kami sudah siap sejak lama. Kami tak punya apa-apa lagi untuk hilang."
Suasana mulai sedikit mengendur. Percakapan beralih ke strategi lebih rinci. Mereka membahas pos-pos Ordo Cahaya yang harus dijatuhkan, rute penyusupan, dan titik pertemuan pasukan. Varrok dengan cekatan mengatur peta yang digelar di atas tanah. Darek sesekali memberi masukan tentang jalur-jalur hutan yang lebih aman, sementara Aria mencatat dengan cepat.
Saat perundingan berlangsung, Kaelen sesekali melirik Lyra yang duduk tak jauh darinya. Gadis itu tampak lelah, tetapi ia tetap mendengarkan dengan saksama. Serina di sisi lain lebih banyak menunduk, sesekali mencatat, tetapi Kaelen bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggunya. Tatapan Serina sesekali menerawang, seolah pikirannya melayang ke tempat lain.
Malam semakin larut. Setelah semua rencana disusun, Balrik membubarkan pertemuan. Para pemimpin pasukan kembali ke tenda masing-masing, menyisakan Kaelen dan kelompoknya.
Saat mereka berjalan menuju tenda yang disediakan, Serina mendekati Kaelen.
"Apa kau yakin bisa mengendalikan kekuatan itu?" tanyanya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan yang hanya mereka berdua yang bisa dengar.
Kaelen terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku harus bisa. Jika tidak, semua ini sia-sia. Kita semua akan mati."
Serina menundukkan kepala, menahan kekhawatiran yang terus membayangi hatinya. Ia ingin percaya pada Kaelen, tetapi ia tahu betapa rapuh batas antara kekuatan dan kehancuran.
Di kejauhan, di puncak bukit yang gelap, sepasang mata mengamati mereka. Eryon berdiri di sana, seperti bayangan yang tak pernah pergi. Senyumnya tipis, penuh arti. Ia tahu, persekutuan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan ia menanti saat di mana Kaelen kembali tergoda untuk menggunakan kekuatannya—saat di mana kehancuran sejati akan dimulai.
Angin malam berhembus membawa desau samar, seperti nyanyian kematian yang perlahan mulai mendekat.