The Shattered Light-Chapter 22: – Peristirahatan di Lembah Sunyi
Chapter 22 - – Peristirahatan di Lembah Sunyi
Setelah perjalanan panjang yang dipenuhi ketegangan dan bahaya, Kaelen dan kelompoknya akhirnya menemukan tempat yang aman untuk beristirahat. Mereka tiba di sebuah lembah kecil yang tersembunyi, dikelilingi pohon-pohon tinggi dan aliran sungai jernih yang membelah bebatuan. Udara sejuk membelai wajah mereka, membawa ketenangan yang sudah lama tak mereka rasakan. Kicauan burung-burung kecil terdengar samar, menambah kedamaian tempat itu.
Varrok mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti. "Kita bermalam di sini," ucapnya. Suaranya tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Meski tempat itu tampak aman, naluri Varrok sebagai prajurit tak pernah padam.
Serina segera mencari kayu bakar, sementara Darek dan Aria menata tempat tidur dari dedaunan kering. Lyra duduk di tepi sungai, mencelupkan tangannya ke air dingin, membiarkan arus lembut menghapus lelah di jemarinya. Ia menyentuh wajahnya, membasuh sisa debu dan keringat, berharap kesegaran air dapat meredakan kepenatannya.
Kaelen berdiri sejenak, mengamati mereka satu per satu. Ia melihat kehangatan dalam kebersamaan itu—sesuatu yang hampir dilupakan di tengah peperangan dan dendam. Matanya berhenti pada Lyra. Ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, sesuatu yang membuat dada Kaelen berdesir.
Ia berjalan mendekati Lyra. "Airnya dingin?"
Lyra tersenyum tipis. "Dingin, tapi menenangkan. Aku hampir lupa rasanya damai seperti ini."
Kaelen duduk di sampingnya. "Aku juga."
Mereka terdiam, menikmati suara gemericik air. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kaelen merasa hatinya sedikit lebih ringan. Namun, di sudut hatinya, ia tahu kedamaian ini hanyalah sementara.
Di dekat api, Serina meletakkan kayu terakhir dan menyalakan nyala kecil yang perlahan membesar. Varrok duduk di sampingnya, mengamati kobaran api dengan pandangan yang sarat pengalaman. "Perjalanan kita masih panjang," katanya pelan, "tapi malam ini... kita beristirahat."
Serina mengangguk, matanya melirik sekilas ke arah Kaelen dan Lyra. Ada rasa yang ia pendam, tetapi malam itu, ia memilih untuk menyimpannya sendiri. Hatinya bergetar melihat kedekatan Kaelen dan Lyra, namun ia menutupinya dengan senyum samar.
Saat makanan sederhana selesai disiapkan, mereka duduk melingkari api. Obrolan ringan mulai mengisi udara.
"Aku dulu pernah berburu rusa bersama ayahku di hutan seperti ini," cerita Darek sambil tersenyum. "Suatu kali, aku terpeleset masuk lumpur, dan rusa itu malah menatapku seolah mengejek sebelum kabur."
Aria tertawa. "Aku bisa membayangkan wajahmu waktu itu."
"Lalu ibuku menyuruhku mencuci lumpur di sungai yang dinginnya lebih parah dari ini," lanjut Darek, membuat mereka semua tergelak.
Varrok ikut tersenyum, lalu mulai berbicara. "Dulu, ketika aku baru jadi prajurit muda, aku pernah tersesat di pegunungan. Aku berpikir aku akan mati di sana, sampai aku menemukan seorang kakek yang tinggal sendiri di gubuk. Dia memberiku makanan, dan mengatakan satu hal yang selalu kuingat—'Seorang prajurit harus tahu kapan berperang dan kapan diam untuk mendengar dunia.' Aku tidak langsung mengerti waktu itu, tapi sekarang... aku mulai paham."
Serina tersenyum kecil, lalu menambahkan, "Aku ingat masa kecilku. Di desa, aku sering bermain ke ladang gandum bersama adik perempuanku. Kami berlari di antara batang-batang gandum, tertawa hingga lupa waktu. Saat malam tiba, ibuku akan memarahi kami, tapi kemudian ia akan menyelimuti kami dengan pelukan hangat."
Suasana hening sejenak, sebelum Serina berkata lirih, "Aku rindu semua itu."
Kaelen mendengarkan semua cerita itu dengan hati yang mulai hangat. Ia menoleh ke Lyra, yang menatap api dengan tatapan sayu.
"Apa kau punya kenangan seperti itu?" tanya Kaelen.
Lyra terdiam sesaat, lalu berkata pelan, "Aku ingat suara ibuku menyanyi di dapur. Setiap pagi. Lagu sederhana. Aku sering mengeluh karena bosan mendengarnya, tapi... sekarang aku ingin mendengarnya sekali lagi."
Kaelen mengangguk pelan. "Aku juga ingin mendengar suara ibuku lagi."
Percakapan mereka mereda, digantikan keheningan yang hangat. Mereka semua menyadari bahwa di balik kekerasan dunia yang mereka jalani, ada kerinduan akan rumah—akan kehidupan yang damai.
Malam kian larut. Satu per satu mereka tertidur di bawah langit berbintang. Kaelen duduk di dekat api, berjaga bersama Varrok.
"Kaelen," ujar Varrok tiba-tiba. "Apapun yang terjadi nanti... ingatlah malam ini. Kita bukan hanya bertarung untuk menang. Kita bertarung untuk menjaga ini—momen-momen seperti ini."
Kaelen mengangguk. Ia memahami maksud Varrok. Perjuangan mereka bukan hanya soal membalas dendam atau mengalahkan musuh, melainkan menjaga kehidupan yang sederhana dan damai seperti malam itu. Rasa haru menyusup perlahan ke dalam dirinya. Ia mulai mengerti bahwa kekuatan sejati bukan hanya ada di pedang, tetapi juga di hati yang mampu tetap hangat meski dunia di sekelilingnya membara.
Angin lembut berhembus, membelai wajah mereka. Untuk sesaat, dunia terasa lebih ringan.
Kaelen menatap api yang bergetar pelan, berharap esok hari mereka masih bisa bersama, melangkah menuju harapan yang belum padam. Ia menengadah menatap bintang-bintang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia berdoa dalam hati. Semoga mereka semua pulang dengan selamat.
Th𝗲 most uptodate novels are published on ƒгeewёbnovel.com.