The Shattered Light-Chapter 11: – Retakan Kepercayaan
Chapter 11 - – Retakan Kepercayaan
Setelah keluar dengan selamat dari desa Rothern, Kaelen dan kelompoknya bergerak tanpa henti sepanjang malam. Mereka berjalan melintasi hutan yang diselimuti kabut tipis, suara langkah kaki mereka tertelan kesunyian. Napas mereka memburu, bukan hanya karena lelah, tetapi karena bayangan pengejaran yang seolah terus mengintai di belakang.
Ketika fajar merekah, Varrok memberi isyarat agar mereka berhenti di sebuah cekungan tanah yang tersembunyi oleh semak belukar. Mereka berkumpul dalam lingkaran kecil. Kael dan Aria duduk bersandar pada batang pohon, wajah mereka masih menyimpan trauma.
"Kita aman untuk sementara," ucap Varrok lirih. "Tapi kita tidak bisa tinggal di sini lama. Patroli mereka pasti sudah menyadari sesuatu."
Serina mengangguk, namun sorot matanya tajam. Ada kecurigaan yang mulai mengakar di benaknya. Ia memperhatikan satu per satu wajah rekan-rekannya, terutama Darek yang tampak terlalu tenang. Pengkhianatan yang menghancurkan Bayangan Malam masih membekas dalam pikirannya, dan ia tahu, musuh kadang berada paling dekat. "Aku rasa mereka tahu lebih banyak dari yang kita kira. Mereka menyebutkan gerakan di utara. Itu berarti mereka punya mata-mata di sekitar kita."
Kaelen mengeratkan genggamannya pada pisau di pinggangnya. Firasat buruk yang ia rasakan di desa belum juga pudar. Ia menatap satu per satu wajah mereka. Darek diam dengan tatapan waspada, sementara Lyra duduk dekat Aria, berusaha menenangkan gadis itu.
"Kalau begitu, apa langkah kita?" tanya Kaelen, mencoba menutupi kegelisahannya.
Varrok menghela napas. "Kita harus bergerak lebih jauh ke barat. Kita akan bertemu dengan penyintas lain di sana. Mereka mungkin tahu lebih banyak tentang gerakan Ordo Cahaya. Tapi perjalanan ke barat berbahaya. Medannya kasar, dan kita harus melewati wilayah yang diawasi."
Lyra menoleh, matanya penuh tekad. "Apa kita akan bertemu dengan sisa Bayangan Malam lainnya? Aku harus tahu... siapa lagi yang selamat."
Serina menjawab, nadanya lembut namun tegas. "Itulah harapan kita semua. Tapi jangan terlalu berharap. Aku tahu betapa kejamnya mereka. Kita mungkin hanya akan menemukan mayat."
Keheningan menyelimuti mereka sesaat. Kata-kata Serina adalah kenyataan pahit yang tak seorang pun ingin akui.
Kaelen menatap Lyra. Ada kehangatan dalam sorot matanya, sekelebat rasa ingin melindungi. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya.
"Berapa lama perjalanan ini?" tanya Kaelen.
Darek akhirnya bersuara. "Dua hari jika kita tidak terhambat. Tapi... ada satu hal yang perlu kalian tahu."
Semua mata tertuju padanya.
"Wilayah barat adalah jalur pemburuan mereka. Ada unit khusus dari Ordo Cahaya yang dikenal sebagai Pengintai Hitam. Mereka tidak terlihat seperti prajurit biasa. Mereka bergerak dalam bayangan, memburu, dan membunuh tanpa suara. Jika mereka menemukan kita... kita mungkin tidak punya kesempatan melawan."
Wajah Kaelen mengeras. Ancaman baru ini menambah beban yang sudah berat di pundaknya. Tapi ia tahu, mereka tidak punya pilihan lain.
Varrok berdiri perlahan. "Kalau begitu, kita bersiap. Istirahat sebentar. Setelah itu, kita bergerak. Ingat, tidak ada yang berjalan sendirian. Kita adalah satu tubuh. Jika satu jatuh, kita semua jatuh."
Kaelen melirik Lyra yang tersenyum kecil padanya, mencoba memberi ketenangan. Senyum itu seakan menyusup ke dalam dadanya, menghangatkan luka yang selama ini ia sembunyikan. Seketika, kelelahan yang dirasakannya sedikit mereda. Tatapan mereka bertaut lebih lama dari yang seharusnya, hingga Kaelen dengan canggung mengalihkan pandangannya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Di sudut lain, Serina mengamati mereka dengan pandangan yang sulit ditebak. Perasaan asing mulai mengakar dalam hatinya.
The sourc𝗲 of this content is frёeωebɳovel.com.
Sementara itu, jauh di dalam pikirannya, Kaelen masih merasakan tatapan yang mengawasinya dari kegelapan. Sekali waktu, ia merasa mendengar langkah samar di balik semak-semak, atau bisikan angin yang terdengar seperti suara manusia. Bayangan hitam di sudut matanya sekilas terlihat bergerak, namun setiap kali ia menoleh, tak ada apa-apa di sana. Ia tahu... bahaya belum berlalu.